Sleman -- Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tepatnya Kalasan, Sleman, terdapat sebuah bangunan candi yang berdiri megah di tengah pemukiman warga. Candi ini bernama Candi Kalasan yang merupakan salah satu bangunan dengan nilai historis yang kental kaitannya dengan pemikiran kuno mengenai hakikat perempuan.
Berdasarkan prasasti Kalasan berangka tahun 778 M yang ditemukan di lokasi candi, disebutkan Candi Kalasan dibangun oleh Maharaja Tejaprana Panangkaran yang memuja keagungan Dewi Tara yang dianggap sebagai dewi welas asih. Raja Panangkaran berasal dari wangsa Syailendra dan memuja seorang dewi di tengah ingar-bingar pemujaan kepada dewa.
Keunikan Candi Kalasan direpresentasikan oleh bangunan candi yang memukau kala terkena cahaya matahari senja. Pantulan cahaya ini menciptakan semburat keemasan di tiap-tiap lekuk bangunan candi. Semburat keemasan timbul karena adanya bajralepa yang melapisi Candi Kalasan. Bajralepa merupakan lapisan semen kuno atau plester yang terbentuk dari campuran pasir kuarsa, kalsit, kalkopirit, dan lempung.
"Ya, itu, lapisan bajralepa yang bikin candinya keemasan kalau ada cahaya bulan dan sorot matahari saat sore," tutur Dedy Haryono, penjaga Candi Kalasan, Senin (17/6/2024).
Dedy membeberkan alasan mengapa candi yang dibuat untuk memuja dewi ini berlapiskan bajralepa. Menurutnya, berdasar pada Prasasti Kalasan, cahaya keemasan bajralepa adalah wujud agung Dewi Tara sebagai dewi welas asih yang menjadi satu-satunya pedoman arah di dunia dan Suralaya (tempat pada dewa).
Dewi Tara merupakan simbolisme dewi dalam agama Buddha yang dianggap sebagai pelindung dan penolong yang cepat, siap membantu mereka yang memanggilnya dalam situasi kesulitan dan bahaya. Adanya pemujaan Dewi Tara oleh wangsa Syailendra di Candi Kalasan menjadi awal domestikasi muncul di peradaban masyarakat klasik. Bagus Kurniawan, dosen program studi Sastra Indonesia Universitas Sebelas Maret (UNS) menyatakan pemikirannya mengenai sejarah candi Buddha tertua ini.
"Adanya Dewi Tara ini kan menunjukkan perempuan harus welas asih, perempuan tidak layak perang kalau begitu, asumsinya perempuan layaknya, ya, merawat anak. Maka sebenarnya itu adalah embrio dari domestikasi patriarkat," ujarnya pada Rabu (19/6/2024).
Domestikasi patriarkat merupakan suatu paham yang menempatkan perempuan sebagai makhluk yang hanya berperan dalam urusan rumah tangga saja. Pandangan ini menganggap bahwa tugas utama perempuan adalah mengurus rumah sehingga mengabaikan potensi perempuan di bidang lain. Paham ini memperkuat ketimpangan gender dan menghambat perkembangan perempuan yang setara dengan laki-laki dalam berbagai aspek.
Bagus menafsirkan peradaban Candi Kalasan yang memuja seorang dewi welas asih menjadi embrio patriarkat (tahap awal atau benih-benih terbentuknya sistem patriarki dalam suatu masyarakat) tertua di masyarakat Jawa. Sebelum adanya kesetaraan laki-laki dan perempuan, mitologi yang diciptakan melalui konstruksi agama dimanfaatkan untuk stereotip (pandangan umum) mengenai perempuan sebagai lambang welas asih sementara laki-laki lambang kekuatan.
Estetika Candi Kalasan terpancar melalui detail pada tubuh candi. Dalam Prasasti Kalasan, candi ini terdiri atas struktur tiga bagian yang berkaitan dengan tiga dunia. Tiga dunia yang dimaksud adalah Kamavacara atau alam bawah, Rupavacara atau alam nyata, dan Arupavacara atau alam keabadian. Ukiran hias pada tubuh candi yang berupa sulur gelung dan relief dipahat halus dan estetik untuk menggambarkan figur Bodhisattva Dewi Tara.
Menurut Rensa Wahyu, mahasiswa program studi Ilmu Sejarah UNS yang pernah berkunjung ke Candi Kalasan, terdapat keunikan dari sejarah candi Kalasan yang masih terjaga hingga kini.
"Candi Kalasan, itu, Dewi Tara, masih dipuja oleh penganut agama Buddha. Yang saya tahu, masih ada kegiatan perabuan para biksu di hari tertentu," tutur lelaki berusia 20 tahun itu, Senin (17/6/2024).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H