Kita telah menyaksikan dinamika politik dari "istana" hingga partai politik yang mengalami ketegangan yang signifikan saat pemilihan presiden, dengan wujud dugaan intervensi politik atau "cawe-cawe" dari presiden Jokowi yang melahirkan Gibran sebagai wakil presiden Indonesia bersama Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih saat ini. Sejalan dengan hal tersebut intervensi itu tidak hanya terbatas pada pilpres saja akan tetapi terjadi dinamika pada berbagai partai politik yang diibaratkan disandera atau di-setir oleh "istana", misalnya Airlangga sebagai ketua umum Partai Golkar yang mengundurkan diri sebelum musyawarah nasional (munas) yang pada akhirnya digantikan oleh Bahlil Lahadalia, hingga perebutan kursi ketua umum PKB antara Cak Imin dan Nahdlatul Ulama (NU) yang pada akhirnya dimenangkan oleh Cak Imin melalui bantuan Gerindra.
Di antara berbagai partai politik yang ada saat ini tidak banyak lagi yang memiliki sikap oposisi terutama setelah finalisasi pemenang pemilihan presiden di tahun ini. Sebut saja seperti PKS, PKB, dan Nasdem yang mana setelah mendukung Anies sebagai oposisi, nyatanya berbelok dan berkoalisi dengan "istana". Sehingga saat ini terdapat PDI Perjuangan yang berlaku menjadi oposisi utama yang mana sebelumnya bersaing dengan pencalonan Ganjar pada pilpres tahun ini dan dengan telak menelan kekalahan dengan persentase terendah. Posisi PDI Perjuangan saat ini belum jelas mengingat partai politik ini dapat saja berkoalisi dengan pemerintah Prabowo atau dengan konsisten mempertahankan sikap oposisi saat ini.
Sebagaimana yang diketahui bahwa PDI Perjuangan dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri selama berdekade-dekade dengan tangan besinya yang dilandaskan oleh ideologi kiri-tengah yang bersinggungan dengan Soekarnisme yang nyatanya mendapatkan posisi yang kuat dalam kancah perpolitikan nasional dalam satu dekade terakhir. Namun, terjadi keretakan dari hubungan Jokowi dan Megawati yang kurang harmonis akibat perbedaan sikap politik pada beberapa kesempatan. Ketidakharmonisan ini mulai terlihat sejak Jokowi mulai menjalankan "politik cawe-cawe," yang di-mata Megawati mungkin dianggap sebagai upaya melangkahi pengaruh politik PDI Perjuangan. Salah satu contohnya adalah dukungan Jokowi terhadap Prabowo dan keputusan untuk mendorong Gibran sebagai wakil presiden, yang secara tidak langsung menyingkirkan kandidat dari PDI Perjuangan, Ganjar Pranowo. Bagi Megawati dan loyalis PDI Perjuangan, hal ini mungkin dipandang sebagai bentuk pengkhianatan politik, yang memperlebar jarak antara Jokowi dan partai yang dulu menjadi kendaraan politik utamanya.
Selain itu, perbedaan visi ini juga memperuncing dilema politik yang dihadapi PDI Perjuangan saat ini. Di satu sisi, partai ini harus menentukan apakah mereka akan tetap berpegang teguh pada jalur ideologis yang diusung oleh Megawati dan bersikap sebagai oposisi yang kritis terhadap pemerintahan Prabowo-Gibran. Langkah ini akan memperkuat posisi mereka sebagai satu-satunya kekuatan besar yang menyeimbangkan kekuasaan, serta menjaga integritas politik partai. Namun, risiko yang dihadapi adalah potensi isolasi dari lingkar kekuasaan, yang dapat melemahkan daya tawar mereka dalam konteks politik praktis.
Di sisi lain, ada tekanan dari faksi-faksi tertentu di dalam PDI Perjuangan yang mendorong partai untuk bergabung dengan koalisi pemerintahan Prabowo. Alasan pragmatis di balik dorongan ini adalah untuk tetap menjaga relevansi dan pengaruh politik partai, serta memastikan bahwa PDI Perjuangan tidak sepenuhnya tersingkir dari pusat kekuasaan. Koalisi dengan pemerintahan Prabowo juga bisa membuka akses ke jabatan-jabatan strategis di kabinet, yang akan membantu partai untuk tetap terlibat dalam proses pengambilan keputusan politik di level nasional.
Namun, keputusan ini bukan tanpa risiko. Jika PDI Perjuangan bergabung dengan koalisi, partai bisa kehilangan dukungan dari basis pemilih yang selama ini melihat mereka sebagai perwakilan kekuatan oposisi. Selain itu, mengingat hubungan yang sudah tegang antara Megawati dan Jokowi, serta pergeseran kekuatan politik yang diwarnai oleh pengaruh Prabowo, PDI Perjuangan mungkin tidak lagi memiliki pengaruh sebesar sebelumnya di dalam koalisi. Bergabung dengan pemerintahan juga bisa menimbulkan persepsi bahwa PDI Perjuangan berkompromi dengan prinsip-prinsipnya demi kepentingan politik jangka pendek.
Pemilihan menteri-menteri dalam kabinet Prabowo akan menjadi salah satu faktor kunci yang memengaruhi keputusan PDI Perjuangan, apakah mereka akan bergabung dengan pemerintahan atau tetap kukuh sebagai oposisi. Dalam konteks politik Indonesia, formasi kabinet sering kali menjadi ajang negosiasi politik dan pembagian kekuasaan di antara partai-partai koalisi. Jika Prabowo membuka pintu bagi PDI Perjuangan dengan menawarkan posisi strategis di kabinet, hal ini bisa menjadi daya tarik besar bagi partai untuk mempertimbangkan bergabung, terutama dalam rangka menjaga relevansi dan pengaruh di pemerintahan.
Saat ini, beberapa nama yang muncul dalam spekulasi kabinet Prabowo-Gibran berasal dari partai-partai yang sebelumnya berada dalam koalisi atau yang baru bergabung, seperti PKB, Golkar, dan Nasdem. Ketiga partai ini sebelumnya mendukung calon presiden yang berbeda, namun akhirnya memilih bergabung dengan koalisi Prabowo, sebuah manuver politik pragmatis yang mungkin diikuti oleh PDI Perjuangan. Jika Prabowo berhasil merangkul partai-partai besar ini dalam kabinetnya, ia akan memperkuat koalisi pemerintahannya, namun tanpa peran signifikan PDI Perjuangan, mereka bisa kehilangan pijakan strategis dalam politik nasional.
Namun, situasi ini juga bisa menjadi bumerang bagi PDI Perjuangan. Jika mereka bergabung dengan kabinet Prabowo hanya untuk mendapatkan kursi, hal itu bisa dianggap sebagai tindakan oportunistik yang merusak citra mereka sebagai partai yang memiliki prinsip ideologis kuat. Apalagi, PDI Perjuangan selama ini dikenal sebagai partai yang memiliki tradisi kuat dalam mempertahankan identitasnya, baik sebagai partai yang berkuasa maupun oposisi. Megawati, sebagai pimpinan partai, akan mempertimbangkan risiko kehilangan loyalitas pemilih jika partai ini dianggap hanya mengejar kekuasaan tanpa menjaga integritas politiknya.
Di sisi lain, jika Prabowo tidak memberikan ruang yang cukup bagi PDI Perjuangan dalam pembagian menteri, partai ini mungkin lebih memilih untuk tetap berada di luar pemerintahan. Hal ini akan memperkuat peran PDI Perjuangan sebagai oposisi utama, terutama di tengah menipisnya jumlah partai yang benar-benar mengambil posisi oposisi. Dengan jumlah partai oposisi yang kecil, PDI Perjuangan bisa memanfaatkan situasi ini untuk menjadi suara dominan dalam mengkritik kebijakan pemerintah, serta membangun basis baru untuk menghadapi pemilu berikutnya.
Pilihan untuk bergabung dengan kabinet atau tetap sebagai oposisi juga bergantung pada bagaimana Prabowo merancang kabinetnya. Jika Prabowo memilih menteri-menteri dari partai-partai lain dan memberikan sedikit ruang bagi PDI Perjuangan, hal itu bisa dilihat sebagai sinyal bahwa koalisi ini tidak bersifat inklusif, dan PDI Perjuangan lebih baik tetap berada di luar. Sebaliknya, jika Prabowo menawarkan posisi penting dalam kabinet yang sesuai dengan kepentingan PDI Perjuangan, partai ini mungkin akan mempertimbangkan koalisi sebagai langkah strategis.
Pada akhirnya, arah politik PDI Perjuangan terkait pemilihan menteri-menteri oleh Prabowo akan sangat bergantung pada apakah mereka masih dapat memengaruhi jalannya kebijakan pemerintah, serta bagaimana Megawati dan elite partai melihat jangka panjang dari keputusan ini. Jika PDI Perjuangan dapat mempertahankan relevansi tanpa harus menyerahkan terlalu banyak prinsip ideologisnya, mungkin mereka akan menemukan jalan tengah dalam menghadapi tantangan politik yang ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H