Mohon tunggu...
Yan Cahyadi Anas
Yan Cahyadi Anas Mohon Tunggu... Dokter - Dokter

Nama saya Yan Cahyadi Anas seorang penggemar fun run yang selalu mencari tantangan baru untuk menjaga kebugaran dan kesehatan. Saya dikenal sebagai pribadi yang optimis dan mudah bergaul, sehingga membuat saya memiliki banyak teman. Hobi saya yang lain adalah traveling; saya sangat menikmati menjelajahi tempat-tempat baru, mengeksplor budaya, dan mencicipi kuliner lokal saat berpergian. Selain itu, saya juga penggemar sepak bola yang mengikuti liga dan tim favorit dengan penuh semangat. Aktivitas-aktivitas ini membuat hidup saya lebih berwarna dan menyenangkan, dan saya selalu berusaha membagikan pengalaman tersebut melalui konten-konten favorit saya di media sosial

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Perubahan Iklim "Tantangan Global dan Harapan Baru untuk Masa Depan

23 Desember 2024   16:40 Diperbarui: 23 Desember 2024   16:30 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perubahan iklim adalah isu yang tidak dapat diabaikan dan menjadi salah satu tantangan terbesar bagi umat manusia di abad ke-21. Fenomena ini bukan hanya masalah lingkungan, tetapi juga berkaitan erat dengan aspek sosial, ekonomi, dan keadilan,di tengah perdebatan global tentang penyebab dan akibat dari perubahan iklim, satu hal yang jelas, dampak yang ditimbulkan tidak hanya akan dirasakan oleh generasi saat ini, tetapi juga oleh generasi mendatang, dalam tulisan ini, kita akan mengeksplorasi penyebab  perubahan iklim, dampaknya pada kehidupan manusia dan alam, serta solusi-solusi yang dapat diambil untuk mengatasi tantangan yang ada.

Salah satu faktor utama penyebab perubahan iklim adalah emisi gas rumah kaca (GRK) yang meningkat pesat akibat aktivitas manusia. Gas-gas seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan nitrous oxide (N2O) merusak lapisan atmosfer yang seharusnya melindungi Bumi dari radiasi matahari berlebih. Pembakaran bahan bakar fosil, termasuk batu bara, minyak, dan gas alam, merupakan penyumbang terbesar dari emisi CO2. Menurut laporan dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), sekitar 80% dari total emisi CO2 global berasal dari sektor energi, terutama dalam pembangkit listrik dan transportasi, selain itu, penggunaan bahan bakar fosil dalam industri juga menyumbang secara signifikan terhadap emisi GRK.

Deforestasi adalah faktor lain yang tidak kalah penting. Penebangan hutan untuk keperluan pertanian, urbanisasi, dan eksploitasi sumber daya mengurangi kemampuan Bumi untuk menyerap karbon. Hutan memiliki peran penting dalam penyerapan CO2, dan ketika pohon-pohon ditebang, karbon yang terkurung dalam jaringan selnya dilepaskan kembali ke atmosfer, menurut World Wildlife Fund (WWF), setiap tahun, sekitar 13 juta hektar hutan hilang, yang setara dengan kehilangan lebih dari 36.000 hektar hutan setiap hari, penebangan hutan  berkontribusi pada pemanasan global, dan merusak habitat yang mendukung biodiversitas.

Dampak dari perubahan iklim kini semakin dirasakan di seluruh dunia. Cuaca ekstrem menjadi lebih umum, dengan peningkatan frekuensi dan intensitas bencana alam seperti banjir, dan kekeringan. Menurut Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), suhu global telah meningkat hampir 1,2 derajat Celsius sejak akhir abad ke-19, dan pemanasan ini menyebabkan pula perubahan drastis dalam pola curah hujan, badai tropis semakin kuat dan sering terjadi, dengan catatan bahwa badai yang mencapai level kategori 5 menjadi lebih umum.

Kenaikan permukaan laut juga menjadi salah satu dampak nyata dari pemanasan global, yang terutama disebabkan oleh mencairnya lapisan es di Greenland dan Antartika serta ekspansi termal air laut seiring dengan kenaikan suhu. Pusat Penelitian Ilmiah Prancis (CNRS) memperkirakan bahwa jika tren saat ini berlanjut, permukaan laut dapat meningkat sekitar 1 meter pada akhir abad ini. Hal ini akan berdampak serius terhadap pulau-pulau kecil dan kota-kota pesisir, yang merupakan rumah bagi lebih dari 600 juta orang di seluruh dunia. Ancaman seperti banjir rob dan intrusi air laut berdampak pada keberlangsungan hidup masyarakat, pertanian, dan infrastruktur.

Dampak perubahan iklim juga dirasakan dalam dunia biodiversitas. Perubahan suhu dan pola curah hujan mempengaruhi habitat alami banyak spesies, menyebabkan banyak dari mereka kehilangan tempat tinggal atau terpaksa beradaptasi dengan cepat untuk bertahan hidup. Sebuah laporan dari United Nations Environment Programme (UNEP) menyatakan bahwa sekitar 1 juta spesies terancam punah dalam waktu dekat akibat kerusakan habitat dan pemanasan global. Hal ini tidak hanya merugikan bagi spesies-spesies tersebut tetapi juga memperburuk ketidakstabilan ekosistem yang mempengaruhi kehidupan manusia.

Dari perspektif sosial dan ekonomi, perubahan iklim menciptakan tantangan ekstra. Negara-negara berkembang yang biasanya paling rentan menjadi korban dampak perubahan iklim tidak memiliki alat atau sumber daya yang cukup untuk beradaptasi. Menurut laporan Bank Dunia, diperkirakan pada tahun 2030, akan ada tambahan 132 juta orang yang terpaksa hidup dalam kemiskinan ekstrem akibat dampak perubahan iklim jika kita tidak mengambil tindakan segera. Banyak negara-negara ini sangat bergantung pada sektor pertanian, yang sangat dipengaruhi oleh perubahan cuaca dan kondisi iklim. Selain itu, kerusakan infrastruktur akibat bencana alam menambah beban ekonomi, yang membuat perjuangan untuk meningkatkan kualitas hidup semakin berat.

Perubahan iklim adalah tantangan global yang memerlukan kolaborasi internasional, upaya untuk menghadapi perubahan iklim telah terwujud dalam berbagai perjanjian internasional, salah satunya adalah Perjanjian Paris yang disepakati pada tahun 2015. Perjanjian ini berkomitmen untuk menjaga pemanasan global di bawah 2 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri dan berupaya membatasi pemanasan hingga 1,5 derajat Celsius. Dengan lebih dari 190 negara yang menandatangani perjanjian ini, kesepakatan ini menegaskan tanggung jawab global untuk mengurangi emisi dan memitigasi dampak perubahan iklim.

Namun, implementasi perjanjian ini masih menghadapi banyak tantangan. Beberapa negara maju yang berasal dari sejarah emisi tinggi berkomitmen untuk memberikan dukungan keuangan dan teknologi kepada negara berkembang untuk mempercepat transisi energi bersih dan meningkatkan kapasitas adaptasi. Namun, realisasi hal ini sering kali terhambat oleh kebijakan domestik, kepentingan politik, dan ketidakpastian ekonomi, disisi lain, keadilan sosial menjadi salah satu pertimbangan penting dalam diskusi tentang perubahan iklim. Banyak negara berkembang yang paling terpengaruh oleh perubahan iklim sebenarnya memiliki kontribusi emisi yang sangat kecil, oleh karena itu, solusi yang diusulkan harus sejalan dengan prinsip keadilan sosial, di mana negara-negara diuntungkan harus bertanggung jawab untuk mendukung negara-negara yang lebih rentan. Hal ini membutuhkan pengakuan akan ketidaksamaan yang ada dalam kemampuan di antara negara-negara kaya dan miskin untuk beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim.

Meskipun tantangan yang dihadapi sangat besar, ada banyak solusi yang bisa diimplementasikan untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Salah satu solusi paling efektif adalah beralih dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan. Energi terbarukan, seperti tenaga surya, angin, dan hidroelktrik, memiliki potensi besar untuk mengurangi ketergantungan pada sumber energi yang menghasilkan emisi tinggi. Menurut International Renewable Energy Agency (IRENA), jika semua negara berinvestasi dalam energi terbarukan, emisi global dapat berkurang hingga 70% pada tahun 2050. Banyak negara telah melakukan langkah signifikan dalam meningkatkan pangsa energi terbarukan dalam bauran energi nasional mereka, dan ini harus dipercepat.

Reforestasi dan konservasi hutan juga merupakan solusi kunci dalam memerangi perubahan iklim. Menanam kembali pohon dan melestarikan ekosistem hutan akan meningkatkan penyerapan karbon, sekaligus melindungi keanekaragaman hayati. Berbagai inisiatif seperti "United Nations Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation" (UN-REDD) memiliki tujuan untuk mendukung negara-negara dalam menjaga hutan mereka dan mengurangi emisi dari deforestasi. Selain itu, mempromosikan pertanian berkelanjutan dan praktek pengelolaan tanah yang baik dapat meningkatkan kualitas tanah, produksi pangan, dan berkontribusi terhadap mitigasi perubahan iklim.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun