Suatu malam yang dingin di kota London.
Saya mengenali sesosok pria yang duduk di sebuah coffee shop kecil tengah meneguk secangkir kopi panas.
Saya mendekatinya dan menyapa. "Excuse me, are you...Monsieur Wenger?"
Pria tua itu menoleh. Sedikit mengernyitkan kening keriputnya tapi kemudian tersenyum lebar.
Sayapun mengulurkan tangan mengajaknya berjabat tangan. Arsene Wenger menyambut dengan jabatan tangan yang hangat dan sedikit bertenaga menjabat tangan saya erat. Menit berikutnya saya sudah duduk dihadapannya sambil menyeruput kopi panas pesanan saya.
Ternyata Arsene Wenger sungguh pribadi yang hangat. Kebapakan dan antusias pada lawan bicara.
Saya teringat di masa lalu, ketika gelandang potensial Arsenal Emmanuel Petit, mencurhatkan masalah keluarganya pada Arsene Wenger yang membuat konsentrasinya terganggu menjelang sebuah pertandingan penting.
"Manu, jangan kau pikirkan soal pertandingan, pulanglah ke rumahmu,diskusikan dengan baik masalahmu dengan istrimu. Selesaikan itu dengan baik. Saya berdoa yang terbaik bagi kamu dan keluarga. Sekali lagi, keluargamu jauh lebih penting dari apapun di klub ini." demikian Arsene Wenger pada gelandang Prancis itu.
Arsene Wenger bukanlah Sir Alex yang mudah meradang sampai melempar sepatu mengenai kepala David Beckham. Wenger juga bukan seorang Mou yang selalu menyerang siapapun yang mengkritik dirinya. Dia layaknya seorang pria biasa yang penyayang, suami dari seorang istri, Annie Brosterhous dan ayah dari satu orang putri, Lea Wenger.
Mumpung bertemu di satu meja ini, sayapun melayangkan pertanyaan yang sudah lama saya ingin tanyakan.
"Monsieur, kapankah Anda memikirkan untuk pensiun melatih Arsenal?" tanya saya mantap.