Abu Bakar Muhammad bin Zakaria Arrazi adalah seorang filsuf dan dokter terkemuka pada zaman kejayaan peradaban Islam. Ia dikenal sebagai seorang rasionalis murni yang meletakkan akal sebagai komponen paling utama dalam kehidupan manusia. Arrazi sering menyampaikan pandangan kontroversial yang membuatnya dikritik dan bahkan dianggap mulhid atau sesat oleh kalangan ulama di masanya.
Salah satu pemikiran penting Arrazi adalah kritiknya terhadap para nabi. Menurutnya, para nabi tidak memiliki hak untuk mengklaim diri sebagai orang yang memiliki keistimewaan khusus, baik dari segi pikiran maupun ruhani. Arrazi berpendapat bahwa semua manusia pada dasarnya adalah sama, dan Tuhan yang adil tidak akan membeda-bedakan satu orang dari yang lainnya. Perbedaan di antara manusia, kata Arrazi, hanya timbul karena faktor pendidikan dan suasana perkembangan seseorang. Oleh sebab itu, tidak masuk akal, menurutnya, jika Tuhan menciptakan nabi yang juga tidak terhindar dari kekeliruan. Apalagi setiap bangsa cenderung mengakui nabinya sendiri dan menolak nabi dari bangsa lain.
Meskipun pandangannya tentang para nabi dianggap sangat radikal, Arrazi tetap menghormati agama dan wahyu, meskipun ia percaya bahwa akal harus menjadi panduan utama dalam memahami ajaran-ajaran agama.
Dia mendirikan akal sebagai komponen paling penting dalam diri manusia. Akal, katanya, mampu membuat manusia menentukan sesuatu diterima atau tidak tanpa perlu penjelasan dari nabi maupun kitab suci. Ia mengatakan bahwa apabila akalnya sehat, ia bisa mencapai kebenaran dalam perjalanan sendiri. Pandangan ini membuat Arrazi sering dicap kontroversial bahkan mulhid atau sesat oleh kalangan ulama di zamannya.
Namun, meskipun Arrazi menekankan pentingnya akal, ia tidak sepenuhnya menolak agama. Baginya, agama dan wahyu tetap penting, tetapi harus dipahami melalui akal. Arrazi berpendapat bahwa manusia harus menggunakan akalnya untuk membaca wahyu dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Arrazi, nafsu adalah musuh akal yang terbesar. Nafsu apabila tidak dikendalikan akan menyesatkan manusia dari jalan yang benar. Ia percaya bahwa manusia yang hidup hanya berdasarkan nafsunya tidak jauh berbeda dari binatang. Oleh karena itu, akal harus memimpin bukan nafsu dalam diri manusia.
Mu'allaf Arrazi mengemukakan bahwa jika kehidupan manusia hanya berdasarkan pemenuhan nafsu maka itu menjauhkan manusia dari kebahagiaan sejati. Ia yakin, karena nafsu dan akal harus seimbang, akallah harus menjadi controller. Dalam kehidupan sehari-hari ini berarti manusia harus bijak dalam pemenuhan hasrat duniawi dan tidak boleh membiarkan hasrat mendominasi dirinya.
Arrazi juga mengkritik cara penyebaran agama pada zamannya yang cenderung dogmatis dan tertutup terhadap pemikiran rasional. "Menurutnya, agama sering kali disebarkan tanpa memberikan ruang bagi umat untuk berpikir kritis. Akibatnya banyak orang mengikuti ajaran agama secara buta. Mereka tidak dapat memahami hakikat atau maknanya secara mendalam.
Ia berpendapat, agama harus disampaikan dalam pendekatan rasional dan faktual. Ia menganggap pemahaman yang baik dari agama harus melalui proses berpikir dan penalaran sehingga umat dapat melihat bagaimana relevansi ajaran tersebut dengan kehidupan sehari-hari mereka. Ia percaya bahwa agama akan lebih efektif jika diintegrasikan dengan akal sehat, bukan hanya mengikuti tanpa pemikiran.
Arrazi juga berbicara tentang konsep kebahagiaan sejati. Menurutnya, hal itu dapat terjadi ketika jiwa manusia kembali kepada Tuhan setelah tersesat akibat dosa dan nafsu. Ia percaya bahwa manusia pada hakikatnya berasal dari Tuhan; karena itu, kebahagiaan hanya mungkin dapat dicapai bila manusia dapat kembali lebih dekat kepada-Nya. Maka proses ini memerlukan penaklukan nafsu dan pengendalian diri.
Ia berpendapat, kebahagiaan hakiki adalah saat manusia mampu menyelaraskan hidupnya dan kembali kepada hakikat dirinya yang dekat kepada Tuhan. Proses ini serupa dengan seseorang yang kembali ke rumah setelah lama tersesat di jalan yang panas. Arrazi menegaskan bahwa kebahagiaan tidak dapat diraih hanya dengan mengindah-indahkan renca diri dalam halhal duniawi, melainkan dengan mendekatkan diri kepada Tuhan melalui pengendalian nafsu.