Disuatu kesempatan, saya dihubungi oleh salah satu guru honorer di Kota Tangerang, menanyakan soal BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan. Guru itu hendak mengubah status dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) dari status Guru menjadi Ibu Rumah Tangga. lalu saya menanyakan, untuk apa? Ia menjawab "untuk berobat, karena kalau status guru enggak bisa, kalau ibu rumah tangga bisa". Seketika saya tersentak dan merasa miris, apakah benar dengan status guru tidak mendapatkan perlindungan dan mirisnya jika benar, lalu bagaimana dengan Harvey Moeis dan istrinya Sandra Dewi, Terdakwa kasus korupsi timah yang mendapatkan perlindungan kesehatan layaknya orang seperti "pengemis" yang mendapatkan perlindungan kesehatan gratis dari Pemerintah.Â
Persoalan yang menimpa salah satu guru honorer tersebut, mungkin dirasakan sama dengan seluruh guru di Indonesia, yang mempertanyakan status guru serta perlindungan guru, satu sisi diberikan beban untuk mencerdaskan Bangsa, namun disisi lain tidak mendapatkan perlindungan bahkan tidak mendapatkan upah layak khususnya untuk guru honorer, miris!
Di saat para buruh menuntut hak kesejahteraan maka setiap tahun akan memunculkan putusan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dari setiap pemerintah daerah mengalami kenaikan, bahkan Presiden Prabowo Subianto telah menaikkan Upah Minimum tahun 2025 sebesar 6,5%. Dengan kenaikan Upah Minimum tersebut, berdampak pada pendapatan buruh menyesuaikan kenaikan tersebut di beberapa daerah di Indonesia. Setiap daerah memiliki beragam kenaikan baik UMP maupun UMK. UMP DKI Jakarta Rp. 5.396.760 bahkan UMK Kota Bekasi menembus Rp5.690.752 menjadi yang tertinggi dari seluruh daerah.
Guru Honorer : Kaum terlupakan
Lalu bagaimana dengan Guru? Kesejahtehteraan guru selalu menjadi wacana masih jauh dari harapan. Perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan guru masih belum maksimal, terlebih pada guru honorer. Guru honorer bahkan di semua daerah masih jauh dari harapan. Pendapatan yang diterima oleh para guru honorer hanya 10% dari UMK atau UMP buruh, bahkan bisa di bawahnya.
Selain menaikkan upah minimum kaum buruh, Presiden Prabowo telah manaikkan tunjangan guru untuk tahun 2025, guru berstatus ASN yang memiliki sertifikat sebelum 2024 akan mendapatkan tunjangan setara dengan satu kali gaji. Guru ASN yang baru memperoleh sertifikat pada 2024, yang jumlahnya mencapai ratusan ribu, juga akan menerima tambahan tunjangan sebesar satu kali gaji. Sedangkan untuk guru non ASN, tahun ini nilai tunjangan profesinya akan naik dari Rp 1,5 juta menjadi Rp 2 juta sebulan. Namun, hal ini belum menjangkau para guru honorer yang belum bersertifikat pendidik. Rencana peningkatan kesejahteraan guru yang digaungkan Presiden Prabowo Subianto tidak relevan bagi para guru honorer. Guru honorer yang berulang kali meminta kesejahteraan seakan dilupakan karena pemerintah lebih mengutamakan guru ASN dan non ASN bersertifikat pendidik.
Berdasarkan catatan pemerintah, ada 1.932.666 guru bersertifikat pendidik pada 2025 dan 1,4 Juta guru non ASN belum bersertifikat. Dengan pendapatan perbulan di bawah UMR, bahkan ada yang menerima 250 perbulan, sangat jauh dari kata sejahtera. Lalu bagaimana kelanjutannya, apakah ini guru non ASN belum bersertifikat ini benar-benar terlupakan?
Perlu Perhatian dan Perlindungan
Sebuah ironi ketika beban di pundak mereka cukup besar, namun perhatian sangatlah minim. Beban yang diemban oleh para guru sangatlah besar, baik beban pelaksanaan kurikulum yang konon merdeka, namun masih menjadi beban bagi para guru karena masih menjadi momok besar ketika sudah berjalan kurikulum baru, berganti pimpinan maka kebijakan pun akan berubah.
Selain kurikulum, beban yang paling besar adalah membangun karakter bangsa dengan pendekatan terhadap siswa yang akan menjadi generasi bangsa ke depan. Ini pun menjadi PR besar pemerintah, yaitu perlindungan hak guru. Di saat beban besar diberikan kepada guru, namun pemerintah tidak hadir memberikan perlindungan.
Kasus demi kasus telah mengampiri para guru, mulai melaporkan guru ke pihak berwajib, dikriminalkan, bahkan sampai ada yang menjadi pesakitan dan mendekam di balik jeruji. Dari beberapa kasus hukum yang terbaru yaitu kasus guru diketepel oleh wali murid di Bengkulu, karena tak terima anaknya dimarahi saat ketahuan merokok di lingkungan sekolah. Selain oleh wali murid, siswa pun berulah terhadap guru, seperti kasus seorang guru Madrasah Aliyah di Demak, dibacok muridnya gegara perkara nilai. Kasus menghebohkan adalah kasus Ibu Supriyani, Guru Honorer dari Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara yang dituduh menganiaya siswa dan masih banyak kasus lain yang menandakan kondisi pendidikan kita sangatlah darurat dan perlu penanganan secepatnya serta peran negara dibutuhkan guna membenani pendidikan secara baik, terlebih terhadap perlindungan guru.
Bukan Soal UU Perlindungan Guru, Namun Implementasinya
Pada suatu kesempatan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka mengusulkan perlu UU Perlindungan Guru sebagai payung hukum bagi para tenaga pendidik yang rawan dikriminalisasi jika memberi teguran atau hukuman kepada para siswa. Wapres Gibran  mencontohkan beberapa kasus kriminalisasi pada guru, seperti di Bengkulu yang kehilangan penglihatan mata kanannya yang rusak akibat dikatapel orang tua murid.Â
Sebenarnya, usulan Wapres Gibran mengenai UU Perlindungan Guru bukan hal baru, karena aturan soal perlindungan guru sudah termuat di dalam Undang-Undang Guru dan Dosen atau UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Perlindungan ini meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Pasal 39 menyebutkan bahwa semua satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru yang meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Perlindungan hukum yang dimaksud dalam Pasal 39 mencakup perlindungan dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak perseta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, atau pihak lain.
Kehadiran pemerintah sangatlah diharapkan bukan hanya menjadikan guru sebagai alat kampanye dan komoditas politik untuk hajatan pemilu maupun pilkada. Pemerintah perlu membenahi pendidikan bukan hanya terfokus pada perombakan kurikulum, namun perlu juga membenahi sisi kesejahteraan serta memberikan perlindungan terhadap guru.
Kita menuntut agar peran pemerintah baik pusat hingga daerah bekerjasama bahu-membahu memikirkan bagaimana pendidikan ke depan agar lebih baik tanpa diskriminasi. Karena masih saja ada peran diskriminasi terhadap guru yang berbeda naungan, misal antara guru di bawah Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama.
Perlindungan hukum terhadap guru pun menjadi prioritas guna memberikan rasa nyaman terhadap guru dalam proses pembelajaran dan pembentukan karakter. Selain soal menuntut pemerintah segera memperkuat peraturan yang menjadi payung hukum berupa Undang-undang Perlindungan Guru, namun yang paling penting adalah implementasi peraturan tersebut, agar perlindungan terhadap guru itu nyata, tidak menjadi persoalan sia-sia, ketika UU dibuat, namun tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H