Libur sekolah sedang berlangsung sampai 6 Januari 2025, tapi sisa cerita kegiatan di semester kemarin sayang kalau tidak diceritakan.
Di kelas 7 SMP tempat anak lelaki kami belajar, P5 (Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila) diadakan selama dua pekan berturut-turut. Selama P5 tidak ada pelajaran lain. Pada P5 pertama yang bertema Bangun Jiwa Raga Berempati dan Membangun Akhlak Terhadap Sesama, kelas 7 belajar bahasa isyarat, mengenali huruf braille, melakukan senam bersama dan memberi bingkisan kepada teman-teman dari SLB, juga membuat es buah.
Pada P5 kedua yang bertema Demokrasi, kelas 7 belajar apa itu demokrasi dan bagaimana mempraktikkan demokrasi di rumah dan sekolah. Mereka juga menyusun proposal untuk menggelar pemilihan ketua OSIS baru. Acara dipuncaki oleh pemilihan ketua OSIS langsung dibilik suara oleh kelas 7, 8, dan 9.
Terus Apa Hubungannya Sama Orangtua?
Kalau kegiatan P5-nya seperti itu tentu orangtua tidak perlu repot membantu sekolah. Kalaupun ada dana yang harus dikeluarkan biasanya sudah terbiayai dari BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Kerepotan baru terjadi kalau diadakan gelar karya untuk memamerkan hasil belajar siswa selama pelajaran P5.
Di SD anak perempuan kami dan banyak SD di Kabupaten Magelang, gelar karya/pameran P5 diadakan setahun dua kali untuk memamerkan hasil belajar P5 siswa selama satu semester. Apa yang dipamerkan tergantung dari tema yang diangkat sekolah. Misal tema kewirausahaan, kesenian dan kebudayaan, lingkungan hidup, atau lainnya sesuai kebutuhan dan kebijakan sekolah.
Kalau ada gelar karya sudah pasti orangtua harus membantu karena tiap kelas perlu stand yang harus dihias, diisi, dan dibiayai oleh orangtua yang terhimpun dalam paguyuban kelas. Memang, tidak semua orangtua harus terlibat mengurusi tetek-bengek, biasanya cuma pengurus paguyuban saja.
Ada kelas yang cuma punya empat pengurus, ada juga yang punya delapan pengurus. Kalau para pengurus kewalahan, barulah minta bantuan orangtua nonpengurus untuk ikut membantu membuat dekorasi, menyusun stand, dan segala keperluan pameran. Siapa yang mau jadi pengurus juga sifatnya sukarela.Â
Saya terpilih jadi pengurus paguyuban secara tidak sengaja karena tidak ada orang yang mau mengisi posisi wakil ketua, maka saya yang kena tunjuk di akhir. Padahal sudah diam anteng berusaha tidak menarik perhatian.Â
Posisi wakil memang sebetulnya gak perlu karena segala keputusan ada ditangan ketua. Untuk formalitas ya sudah diadakanlah posisi wakil ketua paguyuban. Anggap aja numpang eksis, minimal bisa dikenal sama wali kelas. Tiap ada kegiatan sekolah, pengurus payugubanlah yang paling capek turun tangan.
Beruntung kalau ada orangtua nonpaguyuban yang rela turun membantu, tapi amat sangat jarang. Makanya beberapa ketua paguyuban memberlakukan denda Rp50.000-Rp100.000 bagi orangtua yang tidak hadir membantu di kegiatan kerja bakti kelas, tujuhbelasan, karnaval, atau gelar karya P5.
Terlepas dari denda yang diberlakukan kepada orangtua yang enggan ribet, ada empat tipe orangtua yang paling sering kita jumpai kalau sekolah sedang ada gelar karya atau kegiatan lain.