Berumah tangga adalah penyesuaian dan tolaransi seumur hidup dengan pasangan. Selama enam dekade, Opa dan Oma Tjiptadinata telah menyaksikan dunia berubah dalam banyak cara. Mereka melewati masa sulit bersama, berbisnis bersama, hingga sekarang menikmati hidup dikelilingi cintai banyak orang.
Setiap tantangan selama berumah tangga yang dihadapi bukannya memisahkan malah memperkuat ikatan mereka dan memperdalam cinta yang Opa dan Oma Tjiptadinata miliki.
60 Tahun Perjalanan Cinta dan Kesetiaan
60 tahun berumahtangga berarti Opa dan Oma Tjiptadinatan telah mengumpulkan banyak sekali pengalaman dan kebijaksanaan. Saya jadi ingat di tahun 1999 kakek dan nenek dari ibu saya juga merayakan 60 tahun pernikahan. Tentu saja bukan mereka yang merayakan, melainkan lima anak mereka.
Waktu itu kami mendekorasi rumah secara sederhana dan mengeluarkan peralatan makan spesial. Kami berkumpul di rumah kakek dan nenek di Tasikmalaya untuk makan bersama. Meski mereka tinggal di Tasikmalaya, tapi semua anaknya lahir dan besar di Jakarta sehingga kami menjadwalkan jauh-jauh hari supaya semua anak dan cucu bisa berkumpul.
Saya bayangkan anak, cucu, serta cicit Opa dan Oma Tjiptadinata pastilah bersuka cita dan berbahagia mendapati Opa dan Oma sudah mencapai usia perkawinan 60 tahun dengan fisik yang sehat dan jiwa yang tentram.
Kalau tanpa fisik yang sehat dan jiwa yang tentram amat sulit mencapai usia pernikahan sampai 60 tahun. Kalau kita baca-baca artikel yang ditulis oleh beliau berdua. Mereka suka beraktivitas fisik meski yang ringan seperti jalan kaki dan jalan-jalan di taman. Pun dalam kehidupan sosialnya beliau amat supel dan tidak pilih-pilih.
Kebijaksanaan dan Pengalaman
Supel, ramah, dan selalu berpikir positif bisa jadi alasan kenapa Opa dan Oma Tjiptadinata panjang umur, berbahagia, dan masih bersama sampai 60 tahun usia perkawinan mereka.
Apalagi, meski beberapa kali pernah ditipu oleh kenalan, beliau berdua tidak pernah mendendam. Itulah karma. Kalau di agama saya, kebaikan yang kita tebar akan kembali kepada kita juga. Padahal ada stereotip di masyarakat kita terhadap orang Tionghoa. Orang Tionghoa dianggap eksklusif karena cuma mau berteman dan berbisnis dengan sesamanya.
Awalnya saya juga terkesima dengan beliau berdua. Waktu pertama saya menulis di Kompasiana, selesai nulis langsung saya tinggal tidak bertegur sapa apalagi membaca artikel Kompasianer lain.
Namun, Opa dan Oma Tjiptadinata tidak bosan menyapa saya meski saya cuekin. Kalau orang lain amat mungkin 1-2 dicuekin tidak bakalan lagi menyapa, tapi Opa dan Oma tidak mengurangi keramahannya padahal beliau berdua senior di Kompasiana. Opa Tjiptadinata bahkan menyandang Kompasianer of the Year 2014.
Akhirnya saya jadi tidak enak sendiri. Saya mulai balik menyapa Opa dan Oma, kemudian membaca artikel-artikel beliau berdua. Pada setiap artikel yang saya baca selalu ada kebijaksaan dan pengalaman hidup yang bisa saya ambil hikmahnya.