Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ghostwriter

Pekerja sektor informal. Juru ketik di emperbaca.com. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Friends for Life Kompasiana dari Komunitas, Buku, Sampai Bincang Plagiat

10 Oktober 2024   13:08 Diperbarui: 10 Oktober 2024   13:14 1139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hasil olah pribadi

Mereka yang punya hobi nonton film, jalan-jalan, kulineran, bikin cerpen, berkebun, jalan kaki, sampai yang punya kesukaan naik angkutan umum semua punya kesamaan di Kompasiana: suka nulis.

Berapa pun usia kita, apa pun pekerjaannya, dan bagaimana latar pendidikannya kita semua disatukan oleh kesukaan menulis di Kompasiana. Kadang kita ngomongin Admin karena pelit ngasih K-Rewards, kadang bicarain artikel yang kena karantina, kadang gibahin sesama Kompasianer juga. 

Mau sebosan dan sekecewa apa pun kita terhadap Pengelola Kompasiana, akhirnya balik nulis lagi di sini. Karena kita sudah menemukan frekuensi yang tepat.

Teman Sefrekuensi

Saya tadinya ikut komunitas Kompasianer Penulis Berbalas (KPB) dan KOMiK (Kompasianer Only Movie enthus(i)ast Klub). Dua komunitas itu produktif sering bikin lomba menulis, penerbitan buku, dan nonton bareng. Meski sudah tidak lagi di KPB, saya masih kontak via WhatsApp dengan anggotanya seperti Siska Artati, Hennie Triana, Ari Budiyanti, Sri Rohmatiah, Lilik Fatimah Azzahra, Ayah Tuah, Abdul Musfiq Fadhil, David Abdullah, lalu Acek Rudy yang serba bisa itu.

Kadang-kadang saya juga mengomentari status WhatsApp Kompasianer Ibu Suprihati yang baik hati. Terakhir ada Billy Steven Kaitjily yang mengajak saya gabung di grup WhatsApp bernama Kokober alias Komunitas Kompasianer Berbagi. Pengin gabung ke grup WhatsApp Pulpen, tapi saya jarang banget nulis cerpen. Malulah.

Saya sebetulnya juga pengin ikut komunitas Semarkutiga, tapi saya tinggal di Magelang yang lebih dekat ke Yogya daripada ke Semarang, Kudus, dan Salatiga. Jadinya sekarang cuma ikut komunitas dalam Kompasiana saja, tidak di grup WhatsApp. Kadang saya ikutan event dari komunitas yang saya ikuti di temu.kompasiana.com. Pernah menang, lebih sering kalah.

Kenapa, sih, kita tertarik ikut komunitas di Kompasiana? Padahal Kompasiana itu blog publik, bukan organisasi profesi atau klub penulis.

Karena punya teman yang sefrekuensi itu menyenangkan. Kalau boleh menceritakan, di kehidupan nyata nyaris tidak ada orang yang saya kenal yang suka membaca dan menulis. Kalau ngobrol pun cuma seputar kehidupan sehari-hari, atau bergosip yang selain boring risih juga denger-nya.

Punya teman yang sama-sama membicarakan buku bacaan, kesukaan menulis, atau kegiatan di komunitas bikin hati senang dan memicu otak mengeluarkan endorfin. Hormon bahagia ini juga memicu hormon dopamin dalam otak. Rasa senang dan bahagia juga bisa memicu otak kita memproduksi hormon oksitoksin yang meningkatkan rasa percaya diri dan percaya pada orang lain.

Pada akhirnya kesehatan mental kita pun terjaga dan terhindar dari overthinking yang gak perlu karena kita bisa berbagi dengan teman yang sefrekuensi.

Teman yang sefrekuensi juga bisa membawa kita melakukan kegiatan yang positif dari sekadar bergosip. Banyak Kompasianer yang membuat buku bersama (antologi). Terakhir yang saya tahu beberapa anggota KPB membuat novel keroyokan berjudul Kapak Algojo dan Perawan Vestal. Novel itu meraih rekor MURI sebagai novel pertama yang ditulis oleh 33 orang sekaligus.

Bikin Buku

Saya juga pernah ikut bikin buku bareng komunitas KOMiK dan KomPaK'o karena saya menang event yang mereka adakan. Buku pertama Sejarah dan Perjuangan Bangsa dalam Bingkai Sinema yang berisi kumpulan artikel tentang film bertema perjuangan merebut kemerdekaan. Lalu buku kedua Kejutan Terindah di Hari Kemenangan isinya kumpulan cerpen tentang kejutan menjelang Lebaran.

Ada juga antologi yang ditulis para Kompasianer dan saya ikut mengisinya, yaitu 150 Kompasianer Menulis Tjiptadinata Effendi. Waktu itu saya ikutan tidak diajak siapa pun. Saya menulisnya karena Opa dan Oma Tjiptadinata pasangan yang baik hati, inspiratif, dan mau bergaul dengan Kompasianer dari latar belakang apa pun.

Meski cuma antologi, tiga buku ini memperpanjang portofolio saya. Sebagai seorang ghostwriter, saya tunduk pada etika tidak boleh memberitahukan buku apa saja yang pernah saya tulis untuk orang lain. Jadi tidak bisa dimasukkan ke portofolio. 

Dua buku yang saya tulis bareng Kompasianer lain sekarang sudah agak lecek di lemari karena dibaca anak saya berulangkali dan dipinjamkan ke orang lain. Sedangkan satu buku lainnya masih dipinjam ibu teman anak saya. Sudah tiga bulan belum dikembalikan. Tidak apa-apa, kalau dia mau memilikinya akan saya kasih secara cuma-cuma.

Bincang Plagiat

Saya pernah diajak bergabung di grup WhatsApp yang memperbincangkan dugaan plagiarisme pada salah satu cerpen Kompasianer. Admin grup itu juga memasukkan Head of Community Kompasiana Kevin Legionardo untuk ikut berbincang. 

Dari bincang di grup WhatsApp itu kami sepakat kalau penulis konten di Kompasiana sebaiknya mematuhi etika dengan tidak menyalin mentah-mentah karya milik orang lain meski porsinya dibolehkan oleh Kompasiana.

Porsi copy-paste yang dibolehkan Kompasiana besarnya 20 persen dari keseluruhan isi artikel. Jadi kita boleh mengutip ayat suci, misalnya, atau percakapan seseorang, atau apa pun. Namun, semua Kompasianer di grup itu kurang sreg kalau penulis konten di Kompasiana-fiksianer maupun nonfiksianer-melakukan copy-paste kecuali ayat suci.

Mereka ingin Kompasianer menggubah dulu suatu cerita atau artikel sebelum menulisnya di Kompasiana. Etika penulis harus dijunjung tinggi untuk menghargai karya orang lain. Kebetulan, Kevin Legionardo juga setuju kalau Kompasianer mesti mengutamakan etika sebelum  memposting artikel di Kompasiana.

Perbincangan itu makin menguatkan wawasan saya bahwa etika itu perlu, walaupun kita hanya menulis di blog publik. Tidak ada tulisan yang remeh, semua tulisan berharga dan bermakna. Akan tetapi, tulisan yang dibuat dari hasil copy-paste karya milik orang lain akan sulit dihargai meskipun porsi salin-tempel itu dibolehkan oleh Kompasiana.

Friends for Life

Sebentar lagi Kompasianival digelar. Ini biasanya jadi kesempatan buat Kompasianer untuk kopi darat, merajut koneksi, dan menjalin persahabatan.

Tidak sedikit juga Kompasianer yang akhirnya jadi bestie di real life seperti Lilik Fatimah Azzahra yang bertemu dengan Widz Stoops di Jakarta. Pun dengan Isti Yogiswandani yang berhaha-hihi dengan Sri Rohmatiah Djalil saat mereka kopi darat di Madiun. 

Itu belum termasuk Kompasianer yang sering bertemu di berbagai acara komunitas yang diadakan KOMiK, Semarkutiga, Pulpen, Kopaja, atau Koteka yang sudah go international. Masih banyak lagi komunitas di Kompasiana yang membuat anggotanya jadi punya teman sefrekuensi.

Itulah friends for life dari Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun