Berawal dari cerita seorang emak yang sudah habis ratusan juta rupiah untuk renovasi rumahnya jadi mentereng nan megah. Kemudian dia ingin pinjam Rp100 juta ke teman segengnya untuk bayar cicilan bank. Sontak teman-temannya kaget. Wong sugih habis renovasi rumah megah, kok, mau pinjam 100 juta.
"Dia pikir karena saya punya banyak kios, terus saya bisa minjemin dia sebanyak itu."
"Padahal bengkel suami saya omsetnya juga ga segede itu, Mbak Yana. Memang rame, sih, tapi kan saya banyak pengeluaran juga."
"Risih, ya, mosok dia nanya-nanya gaji saya dan suami."
Begitu kata teman-teman satu circle-nya yang dimintai pinjam duit.
Besar Pendapatan Kecil Pengeluaran
Ada emak yang beberapa kali memajang foto kwitansi penyewaan kiosnya di status WhatsApp. Harga sewa kiosnya ada yang jutaan, belasan juta, dan ada yang Rp68 juta per tahun.
Banyak yang bilang dia orang kaya, makanya duitnya mau dipinjam Rp100 juta. Namun, dia pernah cerita ke saya bagaimana dia amat membatasi pengeluaran sehari-hari, termasuk uang saku untuk kuliah dan sekolah anak-anaknya.Â
Anaknya yang baru masuk kuliah diminta cari laptop second dan kalau beli baju cukup di toko Serba Rp35 ribu. Anaknya yang SMP diberi uang saku Rp10.000. Uang saku mayoritas anak SMP (negeri) dari orang tua kelas menengah di kisaran Rp20.000-Rp25.000 sekaligus untuk makan siang.
Mungkin juga karena single mom dia merasa harus berhemat supaya ekonominya kelak tidak morat-marit. Namun, meski pendapatannya besar ternyata dia belum tentu dikategorikan sebagai orang kaya.
BPS (Badan Pusat Statistik) mengkategorikan kelas ekonomi orang Indonesia dari pengeluarannya, bukan pendapatan. BPS menyebut karena pengeluaran cenderung lebih stabil dan mencerminkan pola konsumsi yang sebenarnya. Pengeluaran biasanya lebih konsisten, sedangkan pendapatan bisa berfluktuasi karena beberapa hal seperti dapat K-Rewards, bonus, komisi, bansos, atau dari kerja sampingan.
Kompas.id melansir laporan Bank Dunia mengenai klasifikasi kelas ekonomi di Indonesia dengan perincian:
Kaya, pengeluaran di atas Rp6 juta per bulan.
Menengah, pengeluaran Rp1,2 juta-Rp6 juta per bulan.
Aspiring middle class (menuju kelas menengah), pengeluaran Rp532 ribu-Rp1,2 juta per bulan.
Rentan miskin, pengeluaran Rp354 ribu-Rp532 ribu per bulan
Miskin, pengeluarannya tidak lebih dari Rp354 ribu per bulan
Sementara itu Tribunnews merilis laporan BPS tentang kriteria kelas ekonomi dengan rincian pengeluaran:
Kaya, pengeluaran di atas Rp9,9 juta per bulan.
Menengah, pengeluaran Rp 2,04 juta-Rp 9,9 juta per bulan.
Aspiring middle class, pengeluaran Rp874 ribu-Rp2,04 juta.
Rentan miskin, pengeluaran Rp582 ribu-Rp874 ribu.
Miskin, pengeluaran dibawah RP582 ribu.
Beda World Bank dan BPS, beda lagi dengan Forbes. Forbes memberi kriteria kalau orang kaya itu adalah mereka yang punya aset minimal 1 juta dolar AS atau sekitar Rp15 miliar dengan kurs saat ini.
Daya Beli dan Daya Juang
Menurut klasifikasi kelas ekonomi BPS dan World Bank, pengeluaran memberikan gambaran yang lebih jelas tentang kesejahteraan ekonomi seseorang. Ini karena pengeluaran mencerminkan kemampuan seseorang untuk mengelola dan merencanakan keuangan mereka dalam jangka panjang.
Seseorang dengan pendapatan tinggi, tapi pengeluarannya rendah mungkin tidak menikmati standar hidup yang sesuai pendapatannya. Ini cocok dengan pola hidup irit emak yang menyewakan kios-kiosnya tadi.
Kemudian, dua orang dengan pendapatan yang sama pengeluarannya bisa beda karena biaya hidup atau kebiasaan menabung dan berinvestasinya juga beda.
Meski begitu, saya yang awam dan sok tau berpendapat klasifikasi kelas ekonomi berdasarkan pengeluaran ini rapuh dan tricky. Logika kelas-ekonomi-berdasarkan-pengeluaran melihat seseorang yang pendapatannya rendah tapi pengeluarannya tinggi, bisa terjadi karena dia punya akses ke lebih banyak barang dan jasa.Â
Punya akses ke banyak barang dan jasa apa berarti dia boros, atau karena dia generasi sandwich yang harus bayar uang kuliah adik, membiayai kedua orang tua, atau memodali iparnya, misalnya?
Sebagai contoh ada orang yang pendapatannya Rp2 juta, tapi pengeluaran rutinnya Rp3 juta. Berdasarkan kategori kelas ekonomi BPS, dia masuk ke kelas menengah, padahal realita gajinya ada di aspiring middle class. Guna mencukupi pengeluarannya yang minus sejuta dia harus ngojek, jadi reseller, jualan makanan, atau melakukan pekerjaan lain yang menghasilkan rupiah.
Klasifikasi berdasarkan pengeluaran ini juga tricky pada contoh semisal saya beli gamis seharga satu juta. Orang mengira karena saya kaya maka saya beli yang harga sejuta, padahal saya mencicilnya di tetangga. Lalu kalau ada orang yang beli gamis seharga Rp200 ribu, apa berarti dia tidak mampu beli yang harganya sejuta? Belum tentu, bisa jadi karena dia merasa cukup membeli yang Rp200 ribu saja.
Kalau boleh saya katakan kalau pendapatan seseorang tergantung dari sejauh mana daya juangnya dalam mengumpulkan uang. Sedangkan pengeluaran tergantung dari daya belinya dalam membelanjakan uang itu. Apa dia berdaya membelanjakan semua uangnya, atau super hemat seperti emak yang menyewakan kiosnya.
Dari daya beli itulah BPS mengklasifikasikan kelas ekonomi masyarakat Indonesia. Negara maju seperti Amerika, Kanada, Belanda, Rusia, dan Inggris menggunakan pendapatan untuk membagi kelas ekonomi masyarakatnya. Namun, pembagian kelas ekonomi di Inggris lebih rumit karena menyertakan faktor gelar bangsawan dan kepemilikan tanah.
Persepsi Kaya dan Miskin
Ada kenalan saya single mom yang suaminya meninggal kemudian menikah lagi dengan seorang Letda. Buat orang desa punya suami berpangkat Letda itu mentereng dengan fulus tebal. Padahal pada usia 39 tahun seorang tentara bisa disebut mentereng kalau dia berpangkat Kapten atau Mayor.
Orang-orang mengira usahanya maju (sekarang punya tiga warung bakso) karena modal dan pengaruh suaminya. Padahal sang istri bercerita kalau sejak awal menikah dialah yang menopang hampir semua pengeluaran rumah tangga.
Selain karena ada kelas ekonomi, persepsi kaya dan miskin juga bisa datang dari tingkat literasi seseorang. Tingkat literasi yang amat rendah membuat pangkat Letda dikira orang kaya. Sementara sang istri yang sebelum menikah dengan Letda sudah kaya duluan, tidak dianggap kaya karena "cuma" punya warung bakso dan rental mainan.
Melihat fakta diatas saya jadi berkesimpulan klasifikasi kelas ekonomi BPS mungkin digunakan karenaÂ
mencerminkan pola pikir orang Indonesia. Kita menganggap makin besar pengeluaran seseorang berarti pendapatannya juga pasti besar.Â
Ini terjadi di medsos di mana banyak orang lebih suka dipersepsikan sebagai orang kaya daripada orang miskin. Maka mereka pun berusaha menunjukkan pengeluaran yang besar dengan sering ngopi di kafe, memakai tas dan baju mahal, juga bepergian ke luar negeri.
Sayangnya, menganggap seseorang kaya berdasarkan pengeluarannya bisa menjebak kita pada realita semu. Maka ajarkan anak-cucu kita bahwa hidup haruslah berpegang pada kenyataan, bukan kesemuan. Jangan sampai besar pasak daripada tiang.
Dan, kalau telanjur jadi generasi sandwich maka mintalah pada orang-orang yang kita biayai untuk mendoakan supaya kita sehat dan lancar rejekinya selalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H