Pelatihan tentu saja ada. Namun, karena petani kita sudah mbah-mbah, apa mau dikata kalau mereka kesulitan mempelajarinya. Jangankan traktor, smartphone saja tidak semua petani bisa mengoperasikannya, bahkan tidak semuanya punya.
Sementara itu dari sisi lahan, meski kecil-kecil, kalau melihat dari totalnya, ternyata Indonesia punya sawah lebih luas dari Vietnam-negara tempat kita membeli beras.
Selama 2023 kita telah mengimpor beras dari Vietnam sebanyak 1,14 juta ton dan pada Maret 2024 kita beli beras lagi dari Vietnam sebanyak 286.260 ton. Selain Vietnam kita juga membeli dari Thailand, India, India, Myanmar, dan ketinggalan Tiongkok.Â
Data Kementerian Pertanian dan Pengembangan Pedesaan Vietnam menyebut bahwa luas sawah padi di sana ada 7,1 juta hektar di tahun 2023. Daratan Vietnam sendiri luasnya cuma sekitar 331 ribu km per segi. Sedangkan daratan Indonesia luasnya 1,9 juta km per segi. Sementara itu BPS mencatat total sawah padi di Indonesia di tahun yang sama luasnya 10,21 juta hektar.
Kalau melihat luas daratan dan lahan padi antara dua negara, kacamata awam tentu melihat mestinya Indonesia tidak perlu impor beras segitu banyak dari Vietnam. Apa daya, bermacam persoalan di bidang pertanian seolah dibiarkan dan tidak pernah niat untuk menyelesaikannya.
Menunggu Petani Dianakemaskan
Tanaman tanpa pupuk ibarat sayur tanpa garam. Sejak 2017 Kementerian Pertanian sudah membuat kartu tani untuk menyalurkan bantuan subsidi pupuk. Petani membeli pupuk menggunakan kartu tani yang bisa didapat di bank pemerintah. Namun, ketersediaan pupuk bersubsidi di pasaran ternyata tidak banyak dan lebih sering langka.
Akhirnya petani terpaksa membeli pupuk non-subsidi yang harganya mahal dan tidak ditanggung kartu tani. Akibatnya biaya tanam melonjak sementara hasil panen dan harga jual tidak bisa diprediksi.
Jadi kalau betul-betul mau mencukupi ketahanan pangan, berdayakanlah petani. Banjiri pasar dengan pupuk subsidi, perpendek distribusi beras, beli gabah petani dengan harga mahal lewat Bulog, dan bebaskan sawah petani dari pajak. Pokoknya anakemaskan mereka. Kalau sudah begitu,Â
Nantinya akan lebih banyak orang yang kembali mengolah tanahnya jadi sawah alih-alih menjualnya untuk dijadikan toko dan resto.
Menganakemaskan petani bukan tidak mungkin akan membuat anak muda tertarik jadi petani, minimal mau membantu mengolah sawah orang tua mereka.
Kalau banyak lahan beralih fungsi karena petani rugi melulu, maka ketahanan pangan hanya bisa dicapai lewat impor. Impor beras mestinya jadi ironi sebab sejak zaman kemerdekaan makanan pokok mayoritas orang kita adalah nasi beras. Sebagai makanan pokok sudah selazimnya kita bisa memproduksinya sendiri.