Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ghostwriter

Pekerja sektor informal. Juru ketik di emperbaca.com. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Makna dan Filosofi di Balik Bervariasinya Seragam Sekolah Masa Kini

18 April 2024   14:06 Diperbarui: 20 April 2024   03:51 1730
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di masa kini banyak sekolah yang memberlakukan pemakaian seragam nasional putih-merah, putih-biru, dan putih-abu-abu hanya di hari Senin dan Kamis atau pada hari upacara bendera. 

Selain Senin dan Kamis, peserta didik mengenakan seragam baju adat, batik identitas sekolah, seragam Pramuka, atau seragam lain sesuai ketentuan dinas pendidikan setempat.

Maklum, jaman berubah maka seragam sekolah pun ikut berubah. Bervariasinya seragam sekolah masa kini secara langsung ternyata juga memaksa orangtua mengubah pola konsumtif dalam membelanjakan uangnya.

Seragam dan Kebanggaan

Di Kabupaten Magelang, selain seragam nasional dan Pramuka, semua sekolah juga punya seragam baju adat dan seragam batik identitas sekolah. Ketentuan soal seragam nasional, seragam adat, dan pakaian khas sekolah ini telah diatur dalam Permendikbud Nomor 50/2022. Jadi bukan sekolah yang menentukan sendiri.

Kemudian, sejak beberapa tahun terakhir beberapa sekolah di tempat saya tinggal ini juga punya seragam baru berupa atasan batik bebas yang dipadu dengan celana/rok putih dan jilbab (bagi yang mengenakan) putih.

Selasa Jawa program untuk melestarikan nyanyian dan nyanyian khas Jawa. Berseragam atasan batik bebas dengan bawahan putih | Foto: Niken Kustanti
Selasa Jawa program untuk melestarikan nyanyian dan nyanyian khas Jawa. Berseragam atasan batik bebas dengan bawahan putih | Foto: Niken Kustanti
Di SD anak kami seragam batik bebas dikenakan tiap Selasa bertepatan dengan program sekolah bernama Selasa Jawa. Sebelum diberlakukannya seragam baru ini, pihak sekolah membuat jajak pendapat ke orangtua/wali. Hasilnya 77 persen orangtua/wali setuju ada seragam baru berupa atasan batik bebas dan bawahan putih.

Sekolah tidak menyediakan seragam baru ini, jadi orangtua bebas membeli di mana saja sesuai kesanggupan kantung dan selera anak masing-masing.

Bagi beberapa orangtua adanya seragam yang baru diberlakukan pada 2021 ini awalnya terasa membebani karena mereka harus mengeluarkan uang lagi untuk beli seragam. Padahal dibanding cuma mengenakan seragam nasional, Pramuka, dan batik sekolah, bervariasinya seragam di sekolah nyatanya memberi manfaat buat anak kita.

Seragam batik yang dimiliki tiap sekolah bermanfaat untuk mengenalkan identitas dan jati diri sekolah tersebut. Sekolah yang seragam batiknya berwarna oranye seperti di SD anak kami, misalnya, punya makna bahwa sekolah itu memberi kehangatan sama seperti kasih sayang orangtua di rumah yang membuat peserta didik nyaman. 

Makna lain dari warna oranye adalah semangat dan kreativitas. Terbukti sekolah itu selalu punya semangat untuk berkompetisi di mana pun secara sehat (jujur dan adil). Pun terbukti mendorong kreativitas peserta didiknya lewat 12 ekstrakurikuler.

Ekstrakurikuler sekolah ini paling banyak dibanding SD lain, bahkan lebih banyak dibanding jenjang SMP dan SMA yang ada di kecamatan yang sama. Sayang sekali, pergantian kepala sekolah nampaknya mempengaruhi semangat dan kreativitas civitas sekolah.

Peserta didik yang mengenakan seragam batik identitas secara langsung juga merasakan kebanggaan menjadi bagian dari sekolah di mana mereka mendapat ilmu baru, teman, bakat, dan kesempatan untuk mengasah keterampilan sosial. 

Sementara itu, seragam batik bebas yang dipakai tiap Selasa juga punya makna kalau setiap peserta didik itu unik dan berhak menjadi dirinya sendiri. Anak-anak itu ternyata juga bangga sekolahnya punya seragam batik bebas. Saat saya tanya, mereka merasa "beda dan menonjol" tiap disandingkan dengan siswa sekolah lain di satu tempat.

Kalau cuma seragam nasional putih-merah, putih-biru, atau putih-abu-abu, rasa bangga itu tidak sedalam saat mengenakan seragam khas sekolah atau seragam batik bebas.

Seragam Baju Adat dan Riwayat Daerah

Pakaian seragam adat di Kabupaten Magelang berupa kain batik dan kebaya/surjan yang wajib dipakai setiap tanggal 22 oleh peserta didik dan PNS. Bukan sembarang tanggal. Pada 22 Maret 1984 pusat pemerintahan dari Kota Magelang secara resmi pindah ke Mungkid.

Sebelumnya pusat pemerintahan Kabupaten Magelang ada di wilayah yang sama dengan Kota Magelang. Ini karena tadinya kota dan kabupaten merupakan satu wilayah. Magelang pecah jadi dua akibat ulah Gubernur Jawa Thomas Stamford Raffles yang ingin menguasai Magelang dan Temanggung.

Waktu itu Magelang masih jadi bagian dari Kesultanan Yogya. Kemudian lepas dan pecah jadi dua saat Raffles mengangkat bupati Magelang pertama tahun 1813 lewat besluit gubernemen.

Sejak itu Kabupaten Magelang dan Kota Magelang punya pusat pemerintahan yang sama-sama berada di Kota Magelang. Kemendagri (waktu itu Depdagri) kemudian membangun pusat pemerintahan kabupaten yang baru di Kecamatan Mungkid. Dan, tanggal 22 Maret 1984 merupakan hari bersejarah karena sejak itu Kabupatan Magelang punya pusat pemerintahannya sendiri.

Sementara itu di Yogyakarta, seragam adat dikenakan tiap hari Kamis Pahing. Kamis Pahing merupakan hari perpindahan keraton dari Ambar Ketawang ke keraton sekarang yang menjadi tanda berdirinya Kesultanan Yogyakarta. 

Belakangan banyak kantor swasta di Yogya juga memberlakukan pemakaian baju adat di Kamis Pahing bagi karyawannya, sama seperti PNS. 

Seragam baju adat dipakai untuk memperingati hari jadi kota Mungkid sebagai pusat pemerintahan resmi Kabupaten Magelang | Foto dok. SDN Muntilan
Seragam baju adat dipakai untuk memperingati hari jadi kota Mungkid sebagai pusat pemerintahan resmi Kabupaten Magelang | Foto dok. SDN Muntilan
Selain Magelang dan Yogya, daerah lain mungkin juga memberlakukan hari memakai seragam adat berdasarkan riwayat daerahnya masing-masing.

Lungsuran Seragam Antar Angkatan

Orangtua di sini yang sudah saling akrab di sekolah anaknya punya kebiasaan melungsurkan seragam antar anak-anak. Ibu yang anaknya masih di kelas bawah kerap minta lungsuran seragam dari ibu yang anaknya sudah di kelas atas. Kadang-kadang lungsuran ini berlaku untuk semua baju bukan cuma seragam sekolah.

Kebiasaan ini dilakukan juga oleh para ibu bertetangga walau anak mereka berlainan sekolah. Meski seragam yang sama cuma seragam nasional dan Pramuka, mereka tetap saling memberi dan menerima lungsuran selama seragam itu belum lusuh atau sobek.

Cara ini selain menghemat biaya, juga berfaedah mengurangi sampah tekstil. Jadi tidak sia-sia sebetulnya variasi seragam yang dipakai para siswa di sekolah.

Mengubah Pola Konsumtif Orangtua

Bervariasinya seragam sekolah masa kini secara langsung juga memaksa orangtua mengubah pola konsumtifnya. Kalau dulu orangtua dengan ringannya mengambil cicilan baju, perabot dapur, elektronik, dan kendaraan, sekarang mulai mendahulukan seragam sekolah anak.

Ini karena seragam sekolah sudah jadi bagian dari kebutuhan primer buat anak. Sehari-harinya anak menghabiskan waktu di sekolah. Kalau orangtua si anak ekonominya mampu, tapi seragamnya kumal karena kita terlalu sayang mengeluarkan uang untuk seragam baru, lalu bagaimana perasaannya?

Anak lelaki saya masih kelas 6, tapi sudah diterima di SMPN 1. Sekolah ini belum membuka jadwal pengambilan seragam. Kabar dari orangtua yang anaknya diterima di SMPN 2 dan SMPN 3 mengatakan kalau mereka sudah merogoh kocek hampir Rp1,8 juta untuk membeli seragam. 

Biaya itu belum termasuk biaya jahit untuk batik identitas dan baju adat. Di SMPN 1 mungkin lebih mahal karena sekolah itu punya jaket almamater. Melihat biaya seragam yang lumayan besar, banyak orangtua yang mau tidak mau harus menunda memenuhi kebutuhan lainnya.

Beberapa hal  yang mesti kita ingat, membeli seragam sebetulnya tidak bikin dompet jebol karena baju itu dipakai tiap pekan selama bertahun-tahun sampai tidak muat lagi oleh tubuhnya atau sobek atau lusuh. Jadi very worth buying dibanding daster, gamis, dan kerudung yang kita beli, kalau boleh jujur.

Ilmu yang didapat anak di sekolah akan jadi bekal masa depannya. Sedangkan yang kita dapat dari baju untuk diri sendiri lebih kepada manfaat fashion dan pemuasan batin semata.

Pun rela mengeluarkan uang banyak untuk kebutuhan pendidikan anak juga sebetulnya membuktikan rasa sayang kita padanya. Bukankah kita ingin anak nyaman memakai seragam yang layak, buku tulis yang bagus, sepatu yang bersih, dan alat tulis yang memadai?

Lebih jauh lagi, bervariasinya seragam sekolah masa kini nyatanya dapat membuat orangtua mengubah pola pikirnya terhadap keberadaan sekolah dan segala keperluannya. Jangan berharap anak maksimal menyerap ilmu kalau terus berharap sekolah bisa gratis tis tis seratus persen.

Buat anak, kok, itung-itungan?!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun