Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ghostwriter

Pekerja sektor informal. Juru ketik di emperbaca.com. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Usia Maksimal Guru Penggerak Diimpitan Peserta Didik Melek Teknologi

22 Februari 2024   15:37 Diperbarui: 23 Februari 2024   07:29 1099
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi guru penggerak. (Dok Tanoto Foundation via Kompas.com)

Mahkamah Agung (MA) telah mengabulkan permohonan sekelompok guru yang menggugat uji materi Permendikbudristek No 26 tahun 2022 tentang Pendidikan Guru Penggerak. Hakim MA kemudian memerintahkan Mendikbudristek mencabut Pasal 6 Permendikbudristek yang dimaksud karena bertentangan dengan peraturan perundang undangan yang lebih tinggi yaitu UU No. 5/2014 tentang ASN dan UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Satu yang paling disorot adalah Pasal 6 Ayat (d) yang berbunyi, "Memiliki masa sisa mengajar tidak kurang dari 10 (sepuluh) tahun."

Itu berarti usia guru yang ingin mengikuti Program Guru Penggerak usianya tidak boleh lebih dari 50 tahun sebab guru pensiun di usia 60 tahun.

Kacamata orangtua seperti saya melihat pemberlakukan usia maksimal bagi guru penggerak sudah sesuai dengan perubahan zaman dan karakter peserta didik yang makin melek teknologi.

Komputerisasi Belajar Mengajar

Peserta didik yang harus diajar para guru saat ini adalah Generasi Z (atau Genzi) yaitu mereka yang sekarang belajar di kelas 8 keatas. Pun ada Generasi Alpha yang sekarang belajar di kelas 7 kebawah. Dua generasi ini sama-sama mudah menguasai perangkat teknologi canggih dan membersamai internet.

Karena sudah hidup bersama internet, tidak heran kalau banyak guru yang memberi PR (pekerjaan rumah/tugas) menggunakan game dan membuat kuis di aplikasi seperti Kahoot, QuillBot, Narakeet, Blooket, atau Classcraft. Guru di kelas anak saya juga sudah sering minta peserta didiknya mengerjakan penilaian harian, tugas, dan kuis di aplikasi pada sore atau malam hari saat mereka ada di rumah.

Apakah cara belajar-mengajar seperti itu tidak malah membuat screen time murid bertambah? Bukankah malah membuat anak ketergantungan pada ponsel dan internet?

Kami orangtua di kelas itu malah menyambut baik cara guru memanfaatkan teknologi seperti itu. Anak-anak kami Gen Alpha terbukti memahami pembelajaran lebih baik dan nilai-nilainya meningkat dengan cara belajar yang sesuai dengan zaman dan karakter mereka. Orangtua lain juga berpendapat, "Daripada anak main game atau nonton TikTok, lebih baik HP digunakan untuk belajar dan mengerjakan tugas sekolah."

Jadi saya pikir Kemdikbudristek membuat aturan usia maksimal untuk calon guru penggerak bukan untuk mendiskriminasi, melainkan supaya akselerasi belajar-mengajar di kelas tercapai. 

Secara umum dan tidak menyamaratakan-guru 50 tahun keatas perlu waktu lama menyesuaikan diri dengan berbagai perangkat teknologi dan bermacam aplikasi.

Ilustrasi belajar interaktif di kelas | Gambar dibuat pribadi menggunakan AI Designer
Ilustrasi belajar interaktif di kelas | Gambar dibuat pribadi menggunakan AI Designer

Kompetensi Guru Mengikuti Perubahan Generasi

Saat diluncurkannya Merdeka Belajar Episode 5: Program Guru Penggerak pada Oktober 2020, Indonesia sedang mengalami pandemi Covid-19 yang menyebabkan sekolah ditutup dan peserta didik harus menjalani PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh).

Saat PJJ digelar banyak guru senior kesulitan mengajar via Zoom Meeting karena kendala login dan penguasaan fitur-fitur yang ada dalam Zoom. Belum lagi kendala hilang sinyal di laptop. Padahal murid mereka (bahkan yang SD) dengan mudahnya login dan menggunakan fitur yang dibutuhkannya. 

Murid yang laptopnya high spec bahkan bisa mengganti background dan men-share segala macam tanpa lebih dulu mencari tahu caranya di Google.

Sementara itu, kesulitan yang dialami guru senior tampak bisa diatasi dengan baik oleh guru yang masih muda. Mereka luwes berinteraksi dengan peserta didik walau cuma lewat Zoom. Banyak guru muda yang juga mahir membuat video pembelajaran sendiri yang mereka posting di kanal YouTube masing-masing.

Saat mengajar tatap muka di kelas guru senior juga masih menerapkan cara mengajar konvensional dengan meminta murid mendengarkan lalu mencatat. Di sisi lain bisa kita lihat banyak guru muda yang memperlakukan muridnya seperti teman yang friendly untuk membuat mereka nyaman di kelas. Pun tidak ragu menggunakan perangkat digital dan internet untuk membuat pembelajaran lebih menarik dan interaktif.

Jadi amat mungkin kalau Kemdikbudristek menerapkan aturan usia maksimal bagi guru penggerak karena tidak ingin membebani guru senior untuk menguasai teknologi digital yang jadi eranya peserta didik mereka, yaitu Gen Z dan Gen Alpha.

Digitalisasi dan Bonus Demografi

Mengingat Gen Z dan Gen Alpha hidup di zaman internet dan teknologi digital, maka ada kebutuhan di dunia pendidikan untuk mengikuti karakter generasi ini. Guru yang punya kompetensi menguasai teknologi digital akan mudah menyampaikan pelajaran.

Lebih lagi, murid yang sekarang belajar di SD-SMA akan berusia 23-34 tahun pada tahun 2040 nanti. Badan Pusat Statistik mencatat mulai tahun 2020 sampai 2030 Indonesia akan mengalami periode bonus demografi yang mana jumlah penduduk usia produktif lebih banyak dibanding penduduk yang berusia tua.

Periode bonus demografi maksimal berlangsung sampai tahun 2040. Itulah kenapa pemerintah menargetkan Indonesia Emas 2045 yang artinya saat merayakan kemerdekaan RI ke-100 (emas) tahun 2045, Indonesia sudah jadi negara maju hasil memanfaatkan bonus demografi.

Negara-negara yang sukses memanfaatkan bonus demografi (Jepang, Korsel, dan Tiongkok) memulai periode bonus demografi mereka dengan memajukan kualitas pendidikan. 

Pendidikan yang berkualitas akan menghasilkan sumber daya manusia yang memanfaatkan waktu dengan menghasilkan hal-hal yang kreatif dan edukatif untuk membuat mereka mandiri secara finansial.

Kita tengok ke fakta lain, bukti mencatat Brasil, Afrika Selatan, dan Filipina gagal memanfaatkan bonus demografi mereka karena kurang persiapan dalam mengelola SDM dan SDA saat periode bonus demografi berlangsung. 

Venezuela dan Meksiko juga tercatat melewatkan begitu saja bonus demografinya karena lebih fokus menyediakan ikan alih-alih memberi kail ke penduduknya.

Salah satu cara memberi kail adalah dengan membuka keran bagi pelaku ekonomi kreatif yang merupakan nilai tambah dari kekayaan intelektual yang bersumber dari kreativitas manusia yang berbasis wawasan budaya, ilmu pengetahuan, dan teknologi.

Ekonomi kreatif berpengaruh besar pada periode bonus demografi karena memberi peluang bagi penduduk usia produktif untuk mengembangkan potensi dan inovasi hasil dari kreativitas mereka.

Hal sama diungkap oleh United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) yang menyatakan ekonomi kreatif dan ekonomi digital dapat menciptakan lapangan kerja yang bermakna, menghasilkan uang, dan membantu mewujudkan kesejahteraan bagi semua orang. 

Penggerak utama ekonomi kreatif saat ini adalah internet dan teknologi digital, dua hal yang melekat pada anak-anak kita sekarang.

Jadi idealnya kita orangtua terus-menerus memberi pemahaman tentang dampak buruk internet dan media sosial daripada melarang mereka memegang handphone. Saya dan suami sudah menerapkan sendiri pada anak-anak kami yang masih SD. 

Hasilnya dengan kesadaran sendiri mereka menggunakan ponsel dan laptop untuk keperluan belajar, tutorial hobi, dan mencari informasi terkini tentang hal yang mereka sukai.

Mengingat yang jadi pelajar SD-SMA saat ini adalah Gen Z dan Gen Alpha yang secara alami lahir membersamai teknologi digital, maka bila setelah putusan MA ini ada guru berusia 50 tahun keatas yang mendaftar di Program Guru Penggerak, mereka pastilah guru-guru yang lincah menggunakan teknologi informasi, digital, dan berbagai aplikasi pembelajaran. 

Sebab hal-hal seperti itulah yang dibutuhkan peserta didik generasi sekarang sebagai pendamping mereka menyerap ilmu. Buku teks tetap perlu, tapi bukan lagi yang utama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun