Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Penulis - Ghostwriter

Juru ketik di emperbaca.com. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022. Peduli pendidikan dan parenting

Selanjutnya

Tutup

Music Artikel Utama

Last Song Syndrome dan Upaya Melestarikan Lagu Anak Tradisional

11 September 2023   16:06 Diperbarui: 15 September 2023   13:32 17668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ( Shutterstock via KOMPAS.com)

Saya pertama kali dengar utuh lagu "Cikini Gondangdia" baru saat Gala Dinner KTT ASEAN 6 September kemarin yang dinyanyikan Aurelie Moeremans. Sebelumnya saya cuma dengar lagu yang dipopulerkan oleh Duo Anggrek itu sekilas-sekilas saja dari radio, Status WhatsApp orang-orang dan TikTok.

Meski cuma dengar sekilas-sekilas saya hapal bait pertama "Cikini Gondangdia" dan ternyata saya tidak sendiri. Hapal lagu karena sering mendengarnya secara tidak sengaja juga dialami hampir semua orang. Ini dinamakan last song syndrome atau sindrom lagu terakhir.

Kemudian saya ingat dulu ibu mertua saya sering menyanyikan nursery rhymes Jawa seperti "Padhang Bulan", "Gundul-Gundul Pacul", "Menthok-menthok", "Cublak-cublak Suweng", "Sluku-sluku Bathok", "Lir Ilir", dan "Jaranan" saat anak-anak kami balita. Setelah masuk SD mereka sering jadi orang pertama di kelas yang hapal tembang dolanan sementara teman-temannya lebih hapal dangdut Jawa dan K-Pop.

Apa Itu Last Song Syndrome?

Last song syndrome merupakan fenomena umum yang sering terjadi pada siapa pun dimana sebuah lagu melekat, menyangkut, dan terngiang-ngiang di kepala seseorang lantas mengulang bagian atau lirik tertentu dari lagu itu.

Last song syndrome terjadi karena adanya paparan berulang baik yang disengaja atau tidak. 

Untuk menjadi catchy (berkesan karena enak didengar) dan memicu last song syndrome, sebuah lagu harus memiliki tempo yang cukup cepat dengan bentuk melodi yang sama dan interval atau pengulangan yang tidak biasa. Itulah yang ada pada lagu dangdut Jawa dan K-Pop sehingga bocah SD pun sudah hapal lagu dangdut dan K-Pop walau tidak tahu maknanya.

Genre dangdut dan pop sama-sama punya lirik sederhana yang disertai pengulangan serta irama yang easy-listening maka tidak aneh kalau punya lebih banyak penggemar dibanding rock, metal, hip-hop, dan jazz. Lagu anak tradisional pun sama. Liriknya pendek dan sederhana dengan pengulangan disertai irama yang enak didengar, sesuai studi yang dibuat oleh Department of Music di Durham University. 

Mengutip Medical Daily, para peneliti di Durham University mengungkap kalau lagu akan mudah diingat tergantung dari kandungan melodinya. Lagu mesti memiliki tempo yang cukup cepat dengan bentuk melodi yang sama dan interval atau pengulangan yang tidak biasa.

Kalau mengacu pada studi tersebut, maka lagu anak tradisional yang biasa dinyanyikan ibu mertua saya bisa disebut sebagai lagu yang catchy. Karenanya bisa memicu anak, remaja, orang dewasa, dan siapa pun mengalami last song syndrome.

Bila diterapkan secara tepat, last song syndrome bisa membuat anak dan remaja menyukai dan mendendangkan lagu-lagu tradisional yang pada budaya Jawa disebut dengan tembang dolanan.

Last Song Syndrome dan Earworm

Bagaimana cara memicu last song syndrome supaya anak dan remaja hapal kemudian mendendangkan nursery rhymes tradisional? Last song syndrome selalu didahului dengan pembentukan earworm di otak.

Lagu yang punya lirik sederhana dan melodi yang catchy dapat membentuk earworm di otak. 

Earworm adalah musik atau ucapan yang berkesan yang terus-menerus memenuhi pikiran seseorang bahkan setelah tidak lagi dimainkan atau dibicarakan1. Istilah lain dari earworm adalah involuntary musical imagery atau citra musik yang tidak disengaja. 

Maka itu earworm juga membuat anak dengan mudahnya berkata kasar dan tidak senonoh kalau dia sering menonton atau mendengar orang di sekitarnya berkata demikian.

Sementara itu peneliti psikologi musik Victoria Williamson dalam Europe's Journal of Psychology menyebut bahwa earworm adalah cuplikan musik singkat yang masuk ke dalam pikiran tanpa diminta dan kemudian diulang-ulang di luar kendali kesadaran.

Anak-anak memainkan permainan Cublak-cublak Suweng sambil bernyanyi | Foto: goodnewsfromindonesia.id
Anak-anak memainkan permainan Cublak-cublak Suweng sambil bernyanyi | Foto: goodnewsfromindonesia.id

Last Song Syndrome Saat Santai

Kondisi ideal untuk mendengar lagu yang catchy berulang-ulang guna membentuk earworm dan menciptakan last song syndrome adalah situasi yang santai. Santai dalam artian tidak sedang melakukan aktivitas yang butuh konsentrasi tinggi dan terburu-buru.

Studi yang dipimpin Dr. Kelly Jakubowski di Durham University menyebut kalau ibu rumah tangga akan lebih cepat mengalami last song syndrome saat membersihkan rumah, memasak, menyiram tanaman, atau mencuci baju sambil mendengarkan musik. Mendengar lagu yang disetel tetangga saat kita di kamar mandi juga bisa mencetus last song syndrome bila lagu itu termasuk lagu catchy.

Saya juga sering mendengar "Cikini Gondangdia" saat berolahraga ringan di ruang keluarga dan saat gabut melihat-lihat status WhatsApp orang-orang yang ada di nomor kontak. Kalau mendengar "Cikini Gondangdia" dari tape tetangga saat saya nulis, mungkin tidak akan tercipta last song syndrome kecuali saya dicekoki tiap hari nonstop.

Begitu  juga dengan anak-anak kita. Mereka akan mudah mengingat lagu saat sedang dalam situasi dan kondisi yang santai, tidak tergesa-gesa, dan tidak sedang dalam konsentrasi tinggi seperti belajar dan mengerjakan PR. 

Saat mereka sedang sarapan dan makan malam, kita bisa senandungkan lagu-lagu tradisional sambil mencuci piring atau menaruh sayur ke meja makan.

Saya sendiri pernah mencobanya dan anak-anak awalnya heran, "Mama kenapa nyanyi-nyanyi pro konco dolanan ning jobo?" Saya jawab lagi menghapal lagu Jawa biar bisa kayak Mbah. Saya lakukan beberapa hari terus-menerus dan suatu hari saya dengar anak perempuan saya yang waktu itu masih kelas 2 SD menyanyikannya sepulang sekolah saat hendak mengerjakan PR.

Last Song Syndrome dan Mencintai Tembang Tradisional

Tentunya membuat anak menyukai tembang dolanan tidak bisa hanya dengan disuruh, melainkan kita harus mencontohkannya juga tanpa gengsi, malu, dan dibuat-buat. Membuat anak hapal dan mendendangkan lagu tradisional bermanfaat besar untuk jangka panjang.

1. Melestarikan lagu-lagu anak tradisional. Setiap daerah punya nursery rhymes tradisionalnya sendiri yang mengandung filosofi dari adat-istiadat, perilaku luhur, dan keceriaan daerah itu.

Dengan begitu kita bisa mengajak anak berperilaku terpuji dan bergembira dengan cara yang baik sesuai yang diajarkan di lagu tradisional tersebut. Makin banyak anak yang hapal lagu daerahnya, makin lestari juga lagu itu terhindar dari kepunahan.

2. Menjadikan anak bangga jati dirinya sebagai orang Indonesia yang kaya keberagaman.

Pada KTT ASEAN 5-7 September lalu Indonesia mengenalkan dirinya sebagai 'Land of Diversity" atau tanah keberagaman. 

Anak-cucu kita mesti diajarkan bahwa Indonesia jadi bangsa besar justru karena punya banyak keragaman dalam segala hal. Lagu tradisional juga termasuk keragaman yang idealnya dikenali dulu oleh anak sebelum mereka kenal K-Pop atau dangdut dewasa.

3. Menjaga keberlangsungan bahasa daerah. Lagu tradisional tentulah berbahasa daerah sesuai tempat lagu itu berasal.

Makanya anak yang hapal lagu tradisionalnya secara tidak langsung juga ikut menjaga kelestarian bahasa daerah tersebut. Anak-anak saya pun belajar bertutur bahasa Jawa kepada mbah dan budenya berawal dari tembang dolanan.

***

Mengenalkan lagu tradisional sama halnya menyelamatkan psikologis anak karena mereka tidak dipaksa mengonsumsi lagu dewasa yang berakibat jiwanya rapuh karena matang sebelum waktunya.

Dunia anak yang ideal adalah bergembira sebagai pupuk pertumbuhan jiwa yang sehat. Ini bisa didapat dari lagu-lagu tradisional. Maka pilihan kita adalah memberi anak-anak lagu yang memupuk jiwanya jadi sehat atau membiarkannya mengenal lagu yang toxic dan memaksa mereka kehilangan dunia kebahagiaannya sebagai anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun