Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ghostwriter

Pekerja sektor informal. Juru ketik di emperbaca.com. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Konten Nirfaedah TikTok dan Hidup yang Berat

17 Juli 2023   16:09 Diperbarui: 10 Agustus 2023   17:43 2872
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya baru saja punya akun TikTok setelah ikut webinar SOV Crowds yang diadakan Kompasiana via Zoom dan YouTube Live beberapa pekan lalu. 

Saya terkejut sekaligus senang karena ternyata dapat follower dan like di TikTok jauh lebih mudah daripada di Twitter, medsos yang lebih sering saya pakai ketimbang Instagram.

Akan tetapi, dari TikTok jugalah saya menyadari kalau konten ringan dan sangat menghibur ini justru menyimpan bom waktu buat kita, terutama dari sisi ketahanan mental dan kecerdasan otak.

Mandi Lumpur dan Layar Gelap

Saya tertegun waktu melihat Live di Tiktok yang cuma menampilkan gambar dua ponsel yang sedang menyala seperti sedang Live juga. Tiada gambar lain kecuali gelap dan hitam yang tampil di layar ponsel saya. 

Saya tambah terkesima waktu tahu Live dua ponsel berlayar gelap itu dapat ratusan mawar dan Likes. Si pemilik akun yang sedang Live juga cuma menyuruh penonton supaya saling follow, tidak ada topik lain yang dibicarakan selama 1,5 jam dia Live.

Konten layar gelap itu tentu tidak ada apa-apanya dibanding konten mandi lumpur yang heboh pada Januari 2023 lalu.

Sesaat setelah konten mandi lumpur dikecam karena dianggap mengemis online, seorang nenek bilang kalau dia dapat uang sampai Rp9 juta selama melakukan Live mandi lumpur. Uang itu jauh lebih banyak daripada mencangkul di sawah yang cuma dihargai puluhan ribu rupiah.

Ilustrasi kreator konten TikTok dari dribbble.com
Ilustrasi kreator konten TikTok dari dribbble.com

Soal ini benar juga. Suami saya pun membayar para pekerja sawahnya hanya Rp35.000 sesuai "harga pasar" para petani di sini. Selain upah Rp35.000 para pekerja sawah disediakan makan siang, teh, dan kue-kue untuk cemilan. Kalau azan Zuhur sudah berkumandang, itu tandanya jam kerja mereka berakhir.

Jika pemilih sawah menginginkan mereka kerja sampai Asar, maka pekerja sawah dibayar Rp50.000. Upahnya memang kecil diluar nayla, tapi para petani tidak sanggup kalau harus membayar upah lebih dari itu. Hasil panen yang tidak bisa diprediksi karena pengaruh cuaca dan harga jual yang hampir selalu murah membuat pemilik sawah harus ketat mengatur uang.

Terlepas dari mudahnya mencari uang di Live TikTok daripada macul di sawah, konten layar gelap dan mandi lumpur seperti itu sebetulnya tidak dianjurkan untuk sering ditonton karena berpotensi besar mendegradasi otak kita. Persoalannya konten-konten retjeh seperti itulah yang disukai penduduk dunia saat ini.

Degradasi Otak

Saya ikutan membuat konten nirfaedah di TikTok terus terang karena tergiur betapa mudahnya dapat follower dan Likes hanya dengan membuat video lipsync berdurasi 15 detik. Live pertama saya ditonton 173 orang padahal saya cuma memvideokan suasana Timezone saat anak-anak main di sana. 

Memang belum dapat mawar atau gift lainnya, tapi membuktikan betapa mudahnya orang tertarik dengan konten nirfaedah seperti itu-kalau tidak boleh dibilang konten sampah.

Selain beberapa saat aktif di TikTok, saya juga kepincut belanja di TikTok Shop yang baru saya tahu murahnya banget banget dibandingkan Tokopedia bahkan Shopee! Sudah konten-kontennya menghibur bikin ketawa dan rileks, belanja saat Live pun murahnya minta ampun memanjakan kantong.

Namun akhirnya saya menyadari bahwa TikTok ternyata bikin saya jadi malas mikir. Minat menulis turun drastis padahal saya tukang ketik di emperbaca.com yang tentu harus rajin menulis. Pun untuk sekadar membuka Kompasiana saja malasnya minta ampun.

Saya jadi ingat soal beberapa penelitian yang membuktikan makin sering otak dipakai untuk berpikir dan menganalisa, makin tajam ia. Tapi yang dimaksud berpikir di sini bukan mikirin omongan tetangga, melainkan mikir yang mengaktifkan saraf-saraf otak seperti menulis, membaca, bahkan berolahraga, menari, dan berkebun juga bisa bikin otak kita terjaga ketajamannya.

Studi terbaru dari John Hopkins University menemukan bahwa terlalu sering nonton TV dan video bisa bikin otak kita rusak. Menonton film juga termasuk, tapi rusaknya otak tidak terjadi kalau kita menonton genre film tertentu, seperti film yang dibuat dan disutradarai Alfred Hitchcock dan film-film yang bikin kita mikir.

Hidup yang Berat

Banyak orang beranggapan kalau memberi gift ke pemilik akun yang Live di Tiktok (apalagi yang terlihat miskin) sama saja dengan bersedekah.

Tetangga saya yang sama-sama tinggal di RT 01 banyak yang hidupnya susah dan saking miskinnya mereka cuma punya satu ponsel untuk dipakai seluruh keluarga. Kepala keluarga cuma kerja serabutan. Anak-anaknya yang sudah menikah juga tidak bisa membantu karena kerjanya serabutan juga jadi tukang bangunan.

Ada juga yang selain miskin keluarganya juga morat-marit karena si kakek harus menanggung hidup para cucunya yang broken home ditinggal ayah-ibunya yang bercerai lalu tidak lagi menjenguk anak-anak mereka yang diasuh sang kakek.

Saya pernah lihat Live TikTok orang Palestina yang memegang bendera Indonesia dan karton bertuliskan Terima Kasih. Dua orang yang Live berposisi duduk bersila sambil memegang karton dan mengucapkan thank you dan terima kasih. Ribuan Likes dan ratusan mawar berterbangan selama dua Palestinian itu Live.

Apakah para tetangga saya yang miskin dan morat-marit mau disuruh cari uang dengan cara seperti itu juga? Saya tidak yakin mereka mau. Sebab tiap diberi sembako saja mereka selalu berusaha "menggantinya" dengan bekerja di sawah, memperbaiki genting, atau menyapu dedaunan di halaman rumah kami. Mereka seperti malu kalau menerima bantuan secara cuma-cuma tanpa imbal tenaga atau jasa.

Inilah yang membuat saya berpikir, para TikToker (yang miskin betulan) sesungguhnya masih bisa dibantu oleh keluarga atau tetangga terdekat mereka. Pasti ada 1-2 tetangga yang peduli walau cuma berbagi beras segelas daripada melakukan hal di TikTok yang terlihat seperti mengemis.

Sekarang saya sudah tidak aktif lagi di TikTok dan nama akun pun sudah saya ganti dengan emperbaca.com. TikTok tidak saya delete karena kalau sempat masih akan saya isi dengan kata-kata mutiara sebab kadang begitu banyak kata-kata yang ingin tersampaikan dalam otak ini. 

Kemudian muncullah pertanyaan, apakah hidup ini sudah sedemikian berat dan membagongkan sampai orang sedunia sudah tidak mau mikir yang berat-berat lalu menggilai konten retjeh dan remeh yang diwakili oleh TikTok?!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun