Saya ikutan membuat konten nirfaedah di TikTok terus terang karena tergiur betapa mudahnya dapat follower dan Likes hanya dengan membuat video lipsync berdurasi 15 detik. Live pertama saya ditonton 173 orang padahal saya cuma memvideokan suasana Timezone saat anak-anak main di sana.Â
Memang belum dapat mawar atau gift lainnya, tapi membuktikan betapa mudahnya orang tertarik dengan konten nirfaedah seperti itu-kalau tidak boleh dibilang konten sampah.
Selain beberapa saat aktif di TikTok, saya juga kepincut belanja di TikTok Shop yang baru saya tahu murahnya banget banget dibandingkan Tokopedia bahkan Shopee! Sudah konten-kontennya menghibur bikin ketawa dan rileks, belanja saat Live pun murahnya minta ampun memanjakan kantong.
Namun akhirnya saya menyadari bahwa TikTok ternyata bikin saya jadi malas mikir. Minat menulis turun drastis padahal saya tukang ketik di emperbaca.com yang tentu harus rajin menulis. Pun untuk sekadar membuka Kompasiana saja malasnya minta ampun.
Saya jadi ingat soal beberapa penelitian yang membuktikan makin sering otak dipakai untuk berpikir dan menganalisa, makin tajam ia. Tapi yang dimaksud berpikir di sini bukan mikirin omongan tetangga, melainkan mikir yang mengaktifkan saraf-saraf otak seperti menulis, membaca, bahkan berolahraga, menari, dan berkebun juga bisa bikin otak kita terjaga ketajamannya.
Studi terbaru dari John Hopkins University menemukan bahwa terlalu sering nonton TV dan video bisa bikin otak kita rusak. Menonton film juga termasuk, tapi rusaknya otak tidak terjadi kalau kita menonton genre film tertentu, seperti film yang dibuat dan disutradarai Alfred Hitchcock dan film-film yang bikin kita mikir.
Hidup yang Berat
Banyak orang beranggapan kalau memberi gift ke pemilik akun yang Live di Tiktok (apalagi yang terlihat miskin) sama saja dengan bersedekah.
Tetangga saya yang sama-sama tinggal di RT 01 banyak yang hidupnya susah dan saking miskinnya mereka cuma punya satu ponsel untuk dipakai seluruh keluarga. Kepala keluarga cuma kerja serabutan. Anak-anaknya yang sudah menikah juga tidak bisa membantu karena kerjanya serabutan juga jadi tukang bangunan.
Ada juga yang selain miskin keluarganya juga morat-marit karena si kakek harus menanggung hidup para cucunya yang broken home ditinggal ayah-ibunya yang bercerai lalu tidak lagi menjenguk anak-anak mereka yang diasuh sang kakek.
Saya pernah lihat Live TikTok orang Palestina yang memegang bendera Indonesia dan karton bertuliskan Terima Kasih. Dua orang yang Live berposisi duduk bersila sambil memegang karton dan mengucapkan thank you dan terima kasih. Ribuan Likes dan ratusan mawar berterbangan selama dua Palestinian itu Live.
Apakah para tetangga saya yang miskin dan morat-marit mau disuruh cari uang dengan cara seperti itu juga? Saya tidak yakin mereka mau. Sebab tiap diberi sembako saja mereka selalu berusaha "menggantinya" dengan bekerja di sawah, memperbaiki genting, atau menyapu dedaunan di halaman rumah kami. Mereka seperti malu kalau menerima bantuan secara cuma-cuma tanpa imbal tenaga atau jasa.