Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ghostwriter

Pekerja sektor informal. Juru ketik di emperbaca.com. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Menjajaki Wisuda TK-SMA dari Kepentingan Anak yang Berasal dari Keinginan Orang Tua

21 Juni 2023   16:21 Diperbarui: 21 Juni 2023   23:04 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi wisuda | Sumber: Thinkstock via kompas.com

Disclaimer: miskonsepsi dan mispersepsi dapat terjadi jika artikel tidak dibaca utuh.

Wisuda diyakini punya manfaat bagi peserta didik untuk membuat mereka merasa bangga telah menyelesaikan pendidikan di jenjang tersebut. Pun diyakini membuat anak yang lulus TK dan SD lebih mandiri dan percaya diri melangkah ke jenjang berikutnya. Wisuda pun akan membawa kenangan bagi anak dan orang tuanya sebagai bagian dari perjalanan hidup yang berharga.

Kemudian saya jadi punya pandangan. Saya menduga kalau munculnya tradisi wisuda di TK sampai SMA ini berawal dari sekolah swasta. 

Di sekolah swasta kadang-kadang orang tua punya otoritas diatas sekolah sehubungan dengan pembiayaan penyelenggaraan pendidikan.

Orang tua di sekolah swasta ini ingin meniru graduation di sekolah-sekolah Barat di mana lulusannya mengenakan toga dan dilepas dengan acara seremonial. Kalau lulusannya cuma dilepas dengan perpisahan biasa tanpa ceremony rasanya tidak bikin orang tua terharu dan bangga. 

Hanya saja, kalau sekolah di Barat melakukan wisuda di aula atau halaman sekolah, sekolah kita melakukannya di hotel atau dengan menyewa gedung. 

Tidak masalah kalau orang tua di sekolah itu berdompet tebal, mau menyewa lapangan GBK pun bebas. Toh itu duit mereka sendiri. Yang jadi masalah sekolah-sekolah negeri kemudian ikutan bikin wisuda. Kita tahu sekolah negeri amat bergantung pada dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah untuk menciptakan sekolah yang gratis.

Wisuda, Akhirussanah, Wasana Warsa, Purnasiswa, dan Pelepasan di Sekolah Negeri

KBBI mengartikan wisuda sebagai peresmian atau pelantikan yang dilakukan dengan upacara khidmat. Kata itu diberi contoh kalimat, "Para sarjana yang baru lulus menghadiri acara -- bersama orang tua mereka."

Karena (dulu) wisuda identik dengan mahasiswa, maka banyak sekolah lantas mengganti istilah wisuda dengan akhirussanah, wasana warna, purnasiswa, atau sekadar pelepasan yang dilakukan tanpa toga.

Dengan atau tanpa toga sebetulnya sama saja karena yang paling memberatkan, terutama di sekolah negeri, adalah rangkaian kegiatan pendamping selain wisuda itu sendiri.

Acara wisuda atau pelepasan yang disertai sambutan, penghargaan lulusan terbaik, dan unjuk bakat itu cuma acara puncak. Sebelumnya ada rangkaian kegiatan berkaitan dengan purnasiswa seperti festival atau pentas seni, darmawisata, sampai pengajian. Inilah yang sebetulnya memberatkan orang tua-sekali lagi-di sekolah negeri.

Pihak Kemdikbudristek melalui Plt Kabiro Kerjasama dan Humas Anang Ristanto menyebut bahwa wisuda merupakan kegiatan opsional, sebab berdasarkan Permendikbud 75 Tahun 2016 setiap kegiatan di sekolah harus disinergikan antara orang tua-komite-sekolah, termasuk wisuda. 

Gibran Rakabuming Raka, wali kota Solo, juga tidak keberatan dengan wisuda akhir sekolah karena merupakan momen sekali seumur hidup. Sebagai orang tua yang anaknya belajar di sekolah internasional, amat wajar kalau Gibran tidak keberatan. Tipikal orang tua di sekolah swasta memang suka kalau sekolah mengadakan beragam kegiatan termasuk yang sifatnya seremonial, sebab mereka mampu mengeluarkan uang supaya anak dapat pengalaman yang variatif.

Meski demikian dalam kapasitasnya sebagai wali kota, Gibran menyerahkan tentang wisuda kepada sekolah dan orang tua asalkan tidak memberatkan. Kalau ada pemaksaan dari sekolah, dia siap menerima laporan dari warganya.

Kemdikbudristek lewat Kepala Badan Standar, Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Anindito Aditomo kemudian menegaskan wisuda tidak boleh jadi kegiatan wajib yang memberatkan orang tua/wali.

Keinginan Orang Tua yang Dijadikan Kepentingan Anak

Di sekolah anak saya SD negeri, tahun lalu biaya untuk keperluan perpisahan dan wisuda kelas enam menghabiskan Rp50 juta bagi enam puluh peserta didik. Tahun ini naik dua kali lipat jadi lebih dari Rp100 juta. Selain biaya pengajian, tamasya, dan wasana warsa, paguyuban juga memberi kenang-kenangan kepada sekolah (dalam bentuk sarana/prasarana), seluruh guru, dan karyawan.

Untuk wisuda juga harus menyewa aula gedung Perpustakaan Daerah karena aula sekolah tidak cukup menampung seluruh siswa kelas enam beserta orang tua/walinya.

Pada tahun-tahun ajaran sebelum pandemi melanda, acara purnasiswa selalu diadakan di aula sekolah dengan sederhana dan khidmat. Setelah sekolah kembali memberlakukan PTM (pembelajaran tatap muka) barulah ada acara pelepasan di aula Perpusda yang disertai rangkaian kegiatan pra-pelepasan.

Apakah anak-anak ini yang menginginkan wisuda dengan beragam acara pendampingnya? Tidak, semuanya inisiatif orang tua. 

1. Momen seumur hidup. Pelajar yang masih anak-anak dan remaja (usia SMA sekalipun) tidak mementingkan acara seremonial karena acara itu belum punya makna khusus bagi mereka.

Banyak orang tua mengakui kalau wisuda jadi momen berharga dan rasanya terharu sekaligus bangga melihat anak memakai toga setelah menuntaskan pendidikan di jenjang tersebut.

Maka jelas berarti bahwa wisuda adalah momen yang diinginkan orang tua, bukan anak.

2. Melatih kemandirian juga tidak relevan dengan wisuda. Kemandirian adalah buah dari proses yang dilakukan anak-anak kita secara konsisten dan berkesinambungan sesuai usianya.

3. Memotivasi anak untuk giat belajar di jenjang pendidikan berikutnya.

Anak lebih butuh motivasi dari orang tuanya. Kalau selama bersekolah dia tidak pernah dimotivasi dan dibesarkan hatinya, maka tidak mungkin kita mengharapkan anak jadi termotivasi lewat wisuda.

4. Ajang perpisahan dengan teman-teman. 

Anak TK-SD dan remaja SMP-SMA juga tidak bakalan berlama-lama sedih berpisah dari teman-teman karena mereka masih bisa keep in touch lewat medsos dan WhatsApp. Pun mereka bakal bertemu teman-teman baru di jenjang pendidikan berikutnya yang akan membuat mereka lebih happy.

Anak dan remaja tidak semelow kita orang tuanya. Mereka sangat cepat move on dan segera melupakan momen wisuda menjadi sekeping ingatan yang terkumpul dalam benak bersama ingatan-ingatan yang lain.

Kenangan masa sekolah, tanpa seremoni purnasiswa atau wisuda pun, tidak akan lekang dalam ingatan mereka sepanjang hayat. Begitulah kita, orang tua mereka, mengenang masa-masa sekolah kita dulu.

Kalau anak-anak kita giring untuk memaknai wisuda sebagai acara sakral sekali seumur hidup yang harus dilakukan untuk mengenang masa-masa belajar di sekolah. Percayalah, itu tidak relevan buat mereka. Sebab yang akan mereka kenang bukan wisudanya, melainkan hari demi hari yang mereka lalui bersama teman-teman.

Maka jangan sampai ego dan gengsi orang tua dibungkus sedemikian indahnya dengan mengatasnamakan keinginan anak. Ada atau tidak ada seremoni purnasiswa, anak-anak kita akan tetap mengenang masa-masa sekolah hanya dengan dua cara: indah atau buruk.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun