Mereka bilang iuran Rp25.000 hitung-hitung nabung kalau nanti kelas mau piknik (nyatanya dua kali piknik uang kas tidak digunakan karena akan disimpan untuk perpisahan ketika mereka kelas 6-sekarang masih kelas 2).Â
Logika saya, kalau menyatakan Rp20.000 terlalu sedikit, artinya mereka mampu bayar Rp25.000 per bulan. Ternyata cuma segelintir yang rutin membayar iuran paguyuban dari 29 siswa di kelas. Berarti Mak Fulan tidak sendirian.
Kemudian saya paham mengapa orang seperti Mak Fulan dkk lebih memilih bela-belain bayar arisan daripada iuran kas paguyuban dan sumbangan komite yang-sebenarnya-duitnya-buat-membiayai-pendidikan-sekolah-anak-mereka-juga. Alasannya sebagai berikut.
1. Menabung. Dibanding menabung di bank yang habis dimakan biaya admin, menabung di arisan utuh tanpa potongan walau harus menunggu giliran.
Sementara kalau bayar iuran kas paguyuban uangnya tidak akan pernah kembali sebab sudah dibelikan modul, perlengkapan kebersihan, ATK, dan obat-obatan P3K untuk kelas.
Menyimpan uang di balik kasur juga rentan ludes karena anak merengek jajan, spontan banyak belanja di tukang sayur, atau tergoda mencicil daster.
2. Kuatir dianggap sombong. Ada banyak ibu yang sangat kuatir akan citra diri mereka dimata ibu-ibu lain.
"Kalau gak ikut ngebakso nanti dibilang sombong."
"Kalau gak ikut arisan nanti dibilang gak mau silaturahmi." Dan sederet kekuatiran lain yang sebetulnya enggak perlu.
Karena terlalu mementingkan apa kata orang, mereka jadi memaksakan ikut arisan walau kondisi dompet tidak memungkinkan.
Saya pernah ngobrol dengan mama muda yang mau berhenti arisan di klub sepeda, tapi masih mikir-mikir. Kantungnya sudah tidak kuat bayar arisan Rp200.000 per dua pekan, tapi mau keluar tidak enak karena dia sudah berteman lama dengan anggota klub.