Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ghostwriter

Pekerja sektor informal. Juru ketik di emperbaca.com. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Semangat Merdeka Belajar Calistung Lebih Bersahabat

23 Mei 2023   09:19 Diperbarui: 23 Mei 2023   09:41 1308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemendikbudristek melalui kompas.id mencatat untuk tahun ajaran 2023/2024 mendatang sudah ada 151.833 sekolah di Indonesia yang mendaftar Kurikulum Merdeka dengan tiga opsi IKM (Implementasi Kurikulum Merdeka). Opsi tersebut yakni Mandiri Belajar, Mandiri Berubah, dan Mandiri Berbagi.

Jumlah sekolah yang melaksanakan dan mendaftar implementasi Kurikulum Merdeka dari tahun 2021-2023 | Sumber Kemendikbudristek via kompas.id
Jumlah sekolah yang melaksanakan dan mendaftar implementasi Kurikulum Merdeka dari tahun 2021-2023 | Sumber Kemendikbudristek via kompas.id

Meski begitu, Kemendikbudristek tidak memaksa sekolah untuk segera beralih dari Kurikulum 2013 (K13) ke Kurikulum Merdeka. Sebabnya karena masih ada sekolah yang belum siap dan merasa K13 masih cocok diterapkan di sekolah tersebut, begitu yang dikatakan Sekjen Kemendikbudristek Ir. Suharti, MA, PhD pada webinar Bergerak Bersama Semarakkan Merdeka Belajar 17 Mei 2023 lalu bersama kompas.com.

Kurikulum Merdeka diterapkan bertahap dalam bentuk episode-episode untuk memudahkan kepala sekolah dan guru memahami kurikulum ini dan mengimplementasikannya ke peserta didik sesuai karakter sekolah. 

Kalau pada kurikulum sebelumnya anak sekolah harus tunduk pada buku teks dan catatan dari guru, di Kurikulum Merdeka mereka bebas mencari cara belajar yang terbaik untuknya sebagai upaya untuk memahami pelajaran di kelas. Inilah yang disebut dengan Merdeka Belajar.

Pola Pikir Anak Pintar Mahir Calistung

Sampai Maret 2023 sudah ada 24 episode Merdeka Belajar dengan yang teranyar adalah episode Transisi PAUD ke SD yang Menyenangkan. Episode inilah yang mestinya membuka mata orang tua untuk tidak lagi memaksakan anak mereka di TK untuk mahir calistung demi jadi anak pintar di SD.

Calistung penting, tapi yang lebih penting jangan sampai ada tahapan perkembangan psikologis dan kognitif anak yang terlewati.

Dengan begitu ketika anak masuk SD dia sudah siap mentalnya menjadi pelajar yang belajar, bukan lagi anak yang kehilangan masa kecilnya demi belajar calistung. 

Hal ini sejalan dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 28 Ayat (3) yang menyebut bahwa Taman Kanak-kanak adalah suatu bentuk pendidikan yang diselenggarakan untuk mengembangkan kepribadian dan potensi diri sesuai dengan tahap perkembangan peserta didik.

Kementerian saja tidak memaksa sekolah mengimplementasikan Kurikulum Merdeka, mosok kita maksain anak?!

Ada PAUD ada TK, sebetulnya apa beda PAUD dengan TK? Permendikbud Nomor 84 Tahun 2014 tentang Pendirian Satuan Pendidikan Anak Usia Dini memuat bahwa PAUD merupakan jenjang pendidikan yang diberikan sejak anak lahir sampai dengan usia 6 (enam) tahun. 

Itu berarti semua TK adalah PAUD, tapi PAUD belum tentu TK karena Kelompok Bermain (playgroup) juga termasuk kedalam PAUD.

Orang tua yang anaknya belajar di TK ini yang biasanya malu kalau anaknya sudah mau lulus TK, tapi belum lancar caslistung. Untuk mengejar kemampuan calistungnya lantas si anak diikutkan les. 

Salah satu yang membuat orang tua malu anak TK-nya belum mahir calistung karena terbawa pola pikir masyarakat yang masih menganggap anak yang pintar adalah anak yang sudah mahir calistung sejak usia dini.

Pada tahun 2007, ekonom Amerika Serikat peraih Hadiah Nobel James Joseph Heckman mengeluarkan hasil penelitian mengenai pembangunan sumber daya manusia di negara-negara berkembang. Salah satu subjek penelitiannya ialah PAUD yang mengajarkan calistung secara konvensional.

Heckman menemukan bahwa metode ini justru membuat anak jenuh dan stres hingga menimbulkan efek luntur. Saat baru masuk kelas I SD anak-anak ini tampak lebih pintar dari yang lain karena sudah bisa calistung. Namun dalam dua tahun kemampuan mereka luntur bahkan tertinggal dari siswa lain. Heckman beranggapan ini terjadi karena anak dipaksa belajar sehingga mereka jadi kehilangan minat dan menganggap belajar sebagai beban.

Makanya orang tua kini boleh berlega hati karena Merdeka Belajar Episode 24 ini membuat transisi dari PAUD ke SD tidak lagi "menegangkan" buat kita, terutama bagi anak. 

Kalau ada yang tanya, "Besok sudah SD, sekarang sudah bisa calistung, belum?" kita bisa menjawab dengan, "Saya mau anak saya menikmati hari-harinya di TK tanpa harus bosan dengan pelajaran calistung. Kurikulumnya, kan, tidak mewajibkan lulusan TK sudah mahir calistung."

Mata Pelajaran Banyak Baca Banyak Menulis

Anak pertama saya yang sekarang belajar di kelas 5 SD dulu masuk SD dengan tes calistung. Itu karena saat dia masuk SD di tahun ajaran 2017/2018 Kabupaten Magelang belum memberlakukan PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) sistem zonasi. Selain itu yang mendaftar di SD tersebut sangat banyak sedangkan kuota yang tersedia cuma 56 kursi.

Untunglah hal serupa tidak terjadi pada anak kedua saya karena dia masuk SD yang sama di tahun ajaran 2021/2022 saat sistem zonasi sudah diberlakukan. Penentuan diterima atau tidaknya peserta didik tidak lagi berdasarkan tes calistung, melainkan dari usia dan jarak rumah ke sekolah. 

Namun tetap saja, sebelum diberlakukan Kurikulum Merdeka anak-anak lulusan TK sangat diharapkan sudah lancar calistung karena di kelas 1 SD mereka sudah harus mencatat dan mengerjakan PR dengan menulis. Kalau si anak belum lancar membaca dan menulis, dia akan ketinggalan dari teman-temannya. Kalau ada anak yang ketinggalan memahami pelajaran maka target materi dan ketuntasan kurikulum di kelas berpotensi terhambat.

Jadi walau sedari dulu sudah ada PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan dan dikuatkan oleh Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021 yang melarang tes calistung, orang tua dan guru kelas 1 cenderung menginginkan anak sudah lancar calistung saat masuk SD.

Kalau guru kelas 1 karena ingin menuntaskan materi dan target kurikulum, maka orang tua ingin terhindar dari rasa malu. Jadinya seperti buah simalakama. Belum lancar calistung si anak jadi terbebani, lancar pun sama terbebaninya.

Masuk SD yang Menyenangkan

Adanya Merdeka Belajar Episode 24 Transisi PAUD ke SD yang Menyenangkan ini mestinya bisa meyakinkan orang tua untuk tidak lagi kecil hati kalau anak belum mahir calistung saat mendaftar di SD. 

Buku ajar untuk kelas 1 di Kurikulum Merdeka dibuat lebih banyak visual (gambar) supaya anak yang belum mahir calistung paham apa yang diajarkan dalam buku tersebut. Apalagi guru-guru yang mengajar sudah tidak lagi kaku berpatokan pada buku teks. Guru sudah menerapkan Merdeka Mengajar yang memberi materi dengan cara yang kreatif dan variatif.

Apalagi MPLS (Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah) atau masa orientasi siswa kini diperpanjang dari tiga hari menjadi dua pekan. MPLS yang berlangsung dua pekan cukup untuk mengurangi kekagetan anak kita ketika mereka mengalami perubahan dari lingkungan TK ke SD.

Nanti, seiring berjalannya waktu menjalani kegiatan belajar-mengajar, si anak akan mahir calistungnya karena sudah melalui tahapan pembelajaran sesuai usianya.

Pada studi lawas tahun 2013 dari Association for Phycological Science yang dilansir Daily Science mengungkap kalau anak yang memantapkan kemampuan literasi dan numerasinya di usia 7 tahun akan punya kecerdasan intelegensi dan emosi yang stabil ketika dewasa. Itu karena di usia 7 tahun fungsi kognitif, sensorik, dan motorik anak sudah siap untuk mempelajari huruf dan angka-angka dengan baik. 

Pun usia 7 tahun adalah usia ideal masuk kelas 1 SD anak Indonesia setelah lulus dari TK.

Peserta didik kelas 1 SDN Muntilan sedang belajar bersama guru kelas menggunakan alat peraga | Foto: Dokpri Intan Cahyaningratri
Peserta didik kelas 1 SDN Muntilan sedang belajar bersama guru kelas menggunakan alat peraga | Foto: Dokpri Intan Cahyaningratri

Dengan memahami mengapa di usia PAUD anak lebih banyak dikenalkan pada huruf dan angka alih-alih diajarkan calistung, kita, orang tua, sedikitnya sudah terlibat dan berkolaborasi dengan sekolah untuk bergerak bersama semarakkan merdeka belajar.

Jadinya bukan tidak mungkin anak-anak kita nanti mampu mewujudkan cita-citanya, punya semangat menjalani pendidikan setinggi-tingginya, dan siap bersaing secara global dengan tetap bangga pada jati dirinya sebagai orang Indonesia yang berkarakter Pancasila.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun