Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ghostwriter

Pekerja sektor informal. Juru ketik di emperbaca.com. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Strategi Radio Komunitas untuk Bertahan Mengudara

7 Desember 2022   15:46 Diperbarui: 8 Desember 2022   02:45 1819
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi siaran radio | Pixabay/Joe007

Tiga jenis radio yang ada di Indonesia semuanya masih eksis ditengah gempuran aneka podcast (siniar) dan streaming musik, yaitu Lembaga Penyiaran Publik (LPP) seperti RRI, radio swasta yang sering disebut sebagai radio komersial, dan radio komunitas. 

Pendanaan radio komunitas paling minim sebab mereka tidak boleh mengomersialkan acaranya, pun tidak dapat dana dari pemerintah setempat.

Justru radio komunitaslah yang punya ketahanan paling tinggi menghadapi gempuran teknologi audio berbasis internet. 

Sulit Sedari Awal

Sudah umum diketahui bahwa proses izin yang diberikan untuk radio komunitas bisa dibilang tidak gampang. Sejak permohonan diberikan ke KPID, butuh waktu sampai 2 tahun untuk izin itu terbit. Belum lagi syarat izinnya sama sulitnya seperti radio swasta, padahal mereka dilarang mencari profit seperti radio swasta.

Salah satu syarat pendirian radio komunitas, berdasarkan Permenkominfo Nomor 18 Tahun 2016 harus disetujui oleh 51 persen penduduk dewasa di suatu kelurahan/desa, atau 250 orang dewasa yang ditandai oleh persetujuan tertulis dan fotokopi KTP mereka.

Selain izin yang sulit keluar, banyak anggapan yang menyebut kalau radio komunitas cuma menuh-menuhin frekuensi dan mengganggu penerbangan. Suara siaran dan pemutaran lagu di radio komunitas kadang terdengar di frekuensi percakapan pilot dengan air traffic control yang bisa membahayakan penerbangan.

Bukan cuma di Indonesia, hal serupa terjadi di banyak negara, seperti yang terjadi pada anggota AMARC (Association Mondiale Des Radiodiffuseurs Communautaires) atau Asosiasi Penyiar Radio Komunitas yang tersebar di 150 negara dengan hampir 4.000 anggota. 

Walau berada di negara maju, radio komunitas tetap diremehkan dan dipandang sebelah mata, terutama jika membicarakan isu sosial kemasyarakatan dan kebijakan publik.

Dukungan Komunitas

Kawan saya yang mengelola radio komunitas sejak 2005 di Parung Kabupaten Bogor pernah bilang kalau radionya menerima apa pun yang diminta warga. Kirim salam, request lagu, promosi warung dan rumah makan, informasi kegiatan RT-RW, posyandu, karang taruna, sampai pengumuman kelahiran dan wafatnya warga.

Dia tidak pernah minta bayaran secara eksplisit dari warga sesuai yang diperintahkan oleh UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang melarang radio komunitas mengomersialkan siarannya. Jadi, radionya dibayar dengan setandan pisang, sekarung beras, amplop berisi uang puluhan ribu, bahkan pernah "dibayar" dengan ucapan terima kasih saja.

Pelarangan bagi radio komunitas untuk mengomersialisasikan siarannya dimaksudkan supaya radio komunitas tidak digunakan untuk kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan. Itu sebab mereka juga dilarang menyiarkan iklan Pemilukada dalam bentuk apa pun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun