Bagi muslim, emas merupakan instrumen investasi yang jelas halal, bahkan koin emas dikenal sebagai alat tukar esensial dalam Islam karena bernilai intrinsik (nilai yang melekat pada fisik).
Belakangan ini pesan WhatsApp sering datang ke ponsel saya dari beberapa ibu yang mengadu anaknya dinakali si anak emas di kelas. Mengadu kok ke manusia, kepada tidak ke Allah saja? Begitu mungkin jawaban yang didapat kalau aduan itu datang kepada kelompok Islam sayap kanan.
Si anak emas ini sering memamerkan rumahnya yang bagus, sepatunya yang mahal, dan uang jajannya yang banyak. Sering juga memukul, mencekik, dan mengancam teman kalau keinginannya tidak dituruti. Pun sering menyontek saat penilaian harian. Sudah begitu, teman yang dia sontek akan dimarahi kalau jawabannya salah.
Kayak begitu kok jadi anak emas? Setelah saya telisik, ternyata ibu si anak emas ini punya hubungan kerabat dengan sang wali kelas. Sebutan anak emas disematkan oleh teman-teman sekelasnya karena sebadung apa pun, dia tidak akan dapat hukuman dari wali kelas, malahan kadang si pengadu yang disalahkan.
Saya sendiri pernah jadi anak emas waktu di kelas 4 SD dan 3 SMP (sekarang kelas 9), bukan karena saya berkerabat dengan salah satu guru, melainkan karena saya pandai di pelajaran IPA dan IPS, serta bisa main musik.Â
Saat di kelas 3 SMP hanya sedikit anggota ensambel yang dipilih berdasarkan seleksi, kebanyakan dipilih karena orang tua mereka kaya raya atau punya hubungan keluarga dengan para guru.Â
Anak-anak orang tajir pada masa orde baru memang sering dapat keistimewaan dalam segala hal. Maka, ketika saya dapat julukan anak emas dari teman-teman, rasanya malah takut daripada bangga.
Bagaimana Rasanya Jadi Anak Emas?
Secara umum, cara seseorang menyikapi jika dirinya jadi anak emas ada tiga.Â
Pertama, dia akan membusungkan dada dan cenderung menindas rekannya karena merasa yang lain tidak sepadan dengannya.Â
Kedua, biasa saja dan tidak ada perasaan apa-apa karena yang bersangkutan tidak merasa ada bedanya jadi anak emas atau tidak.Â