Bila artikel Kompasianer nangkring di halaman pertama, berarti makin banyak yang klik artikel itu dan organic view yang masuk ke Analytics Kompasiana pun bertambah.
Punya banyak organic views berarti jualan iklan Kompasiana ke pemasang iklan juga makin tinggi.Â
Karena itulah anggapan bahwa kita cuma kost atau numpang nulis di rumah besar Kompasiana sudah tidak relevan. Idealnya hubungan antara Kompasiana dan Kompasianer sudah berupa simbiosis mutualisme, saling menguntungkan.
Persaingan SEO dengan platform blog lain karena selera pasar, saya duga, menjadi sebab artikel politik lenyap. Kompasiana bahkan mengakui selera pasar itu di artikelnya:Â klik sini.
Pengelola Kompasiana tidak mau ambil risiko sekecil apapun yang ditimbulkan oleh artikel politik. Maka diberlakukanlah karantina hingga penghapusan artikel karena dianggap melanggar Syarat dan Ketentuan. Dengan demikian hilanglah mood Kompasianer untuk menulis politik.
Dahulu, Kompasiana dikenal karena artikel-artikelnya yang berbobot. Analisis politiknya pun bernas. Sekarang nampak kecenderungan Kompasiana seperti Idntimes, Hipwee, Mojok, Biblio, dan sejenisnya.
Oh, Kompasiana masih lebih unggul: jadi tempat ngumpulin tugas sekolah dan kuliah. Itu menggiatkan literasi juga, bukan?Â
Karena menghindarkan risiko dituntut hukum dan kepentingan nangkring di mesin pencari, maka diarahkanlah Kompasianer untuk menulis Topik Pilihan. Siapa rajin nulis Topil, dia yang paling banyak dapat K-Rewards.
Barangsiapa tidak ingin nulis Topil, maka menulislah demi kepuasan batin dan semangat berbagi.Â
Satu lagi, bila di platform lain sudah jelas "upah" untuk kontributornya sekian rupiah, di Kompasiana makin absurd. Hanya disebutkan minimal 2000 unique views dengan minimal 3 artikel berlabel Pilihan. Berapa jumlah rupiah per view sekarang sudah tidak dicantumkan.
Banyaknya unique views yang didapat dari hasil menulis Topil juga tidak menjamin dapat banyak duit dari K-Rewards. Yah, kita bisa apa, namanya juga nebeng.