Mengambil player dan gamer yang sudah matang memang praktis dan ekonomis.
Namun, jika ingin mengoleksi emas sekaligus pembinaan jangka panjang, lebih baik bila PB ESI menggelar turnamen untuk remaja 14-16 tahun. Gim yang dimainkan tentu gim-gim yang dipertandingkan di Asian Games.
Jika merasa waktunya terlalu mepet dan ingin cepat, rekrut atlet esports dari turnamen nasional tingkat SMA yang sudah ada, seperti BNI King of School atau Prambors Skulympic.Â
Dulu ada JDID High School League yang digelar pada 2019. Saya pikir bakal jadi batu loncatan gamer dan player untuk jadi pro. Ternyata liganya sendiri mandek dan tidak ada jembatan bagi gamer untuk naik ke tingkat profesional. Too bad.
Kenapa anak-anak SMA yang dipilih untuk bertanding di Asian Games? Bukankah mereka masih kemudaan dan harus sekolah dulu sebelum jadi pro?
Pada esports, makin muda usia atlet makin berpeluang dia menang karena reflek dan kerja saraf di otak untuk melakukan koordinasi asimetris masih sangat bagus.
Ridel Yesaya Sumarandak, masih berusia 16 tahun saat memenangkan emas untuk Indonesia di cabang Clash Royale eksibisi esports Asian Games 2018.
Maka, jika ingin menggondol emas lagi di Asian Games 2022, menurunkan anak SMA adalah yang paling masuk akal.Â
PB ESI juga harus segera lepas dari euforia mendunianya esports supaya tidak mabuk lantas lupa pembinaan.
Bila serius ingin mengembangkan esports dan membuatnya panjang umur, maka kesempatan menang di Asian Games 2022 tidak boleh disia-siakan.
Berapa emas esports yang bakal didapat Indonesia di Asian Games 2022?
Berkaca pada Asian Games 2018, kita mungkin bisa mempertahankan emas di cabang Clash Royale. Untuk gim Hearthstone dimana pada 2018 kita dapat perak, mungkin tahun depan bisa dapat emas.