Para pelawak Betawi yang kita (generasi milenial tua keatas) kenal, seperti Mandra dan adik-adiknya (almh Omas dan Mastur), Malih, Bolot, almh Mpok Nori, alm Bokir, alm Tile, dan alm Nasir lahir dari pertunjukan lenong.Â
Lenong adalah seni pertunjukan teater tradisional khas Betawi. Para pemeran pentas diiringi oleh musik gambang kromong.
Menurut peneliti budaya Betawi Rachmat Ruchiyat yang ditulis historia.id, lenong terbagi jadi dua, yaitu lenong dines dan lenong preman.
Mandra dan semua pelawak Betawi lahir dari lenong preman. Lenong preman mengisahkan cerita kehidupan sosial dan keseharian rakyat, sementara lenong dines menceritakan legenda atau berlatar zaman kerajaan.
Saya tambahkan nama seniman dan pelawak legendaris Benyamin Sueb diantara para pelawak Betawi meski beliau tidak berangkat dari lenong.
Konon, boneka raksasa pengusir setan khas Betawi yang awalnya disebut barongan, berubah nama jadi ondel-ondel karena lagu hits Benyamin S yang berjudul Ondel-ondel (1971) telah mengubah persepsi dan penyebutan orang terhadap boneka raksasa itu.
Gimane perasaan Bang Ben kalo ngeliat ondel-ondel hari gini dipake buat ngamen.
Meski yang menciptakan lagu Ondel-ondel adalah Djoko Subagyo, namun Bang Ben (nama panggilan Benyamin Sueb) berandil besar melestarikan budaya Betawi.
Mandra juga begitu. Selain menjadikan budaya Betawi sebagai bagian dari hidup keluarganya, Mandra mendirikan organisasi Pangsi yang melestarikan sanggar seni warisan budaya Betawi.
Mandra adalah pelawak favorit saya sejak belum sekolah. Sebelum dia gabung di sinetron Si Doel Anak Sekolahan, saya senang melihat Mandra di TVRI karena menurut saya wajah dan cara bicaranya lucu.
Tanpa Mandra, trilogi film Si Doel the Movie hanya penuh kekakuan, kesedihan, dan keplin-planan Doel dalam memilih tetap bersama Zaenab atau kembali pada Sarah.
Celetukan-celetukan Mandra, baik yang serius atau bercanda, pas ditaruh di setiap adegan dan tidak berlebihan.
Ahh, itu kan karena skenario. Kaku, sedih, lucu semua tergantung skenario. Aktor tinggal menghapal dan ikut arahan sutradara.
Saya pernah ikut teater dan karena tidak berbakat seni peran, akting saya saat pentas sangat buruk dibanding teman-teman yang memang berbakat. Kami mempelajari materi yang sama dengan durasi latihan yang sama, tapi hasilnya tidak sama karena faktor bakat.
Meskipun bisa dilatih berdasarkan pepatah alah bisa karena biasa atau practice make perfect, melawak perlu bakat untuk membuat si pelawak bertahan menghadapi perubahan zaman.
Para pelawak Betawi yang saya sebut diawal tulisan punya bakat lucu alami selain lucu dari hasil manggung mereka di lenong.
Secara tidak langsung, para komika (pelawak tunggal) yang saat ini sedang populer, banyak terpengaruh pelawak Betawi ini.
Mereka bicara elu-gue elu-gue sebagai ganti aku-kamu-saya. Lupa bahwa penonton mereka bukan cuma dari Jabodetabek. Pelawak Betawi memakai elu-gue-ane-ente-aye karena itu adalah kata-kata keseharian mereka.
Lebih lagi, lenong preman tempat mereka berasal memang menggunakan bahasa percakapan seperti itu.
Di belakang daftar pelawak Betawi berbakat lainnya ada Adul dan Komeng yang walau bukan pemain lenong, mereka punya darah Betawi.
Adul dan Komeng termasuk pelawak yang tahu kapan mereka harus melontarkan lawakan tanpa mendominasi lawan main dan kapan harus diam.
Pelawak yang melawak tanpa bakat juga bisa lucu membuat kita terpingkal-pingkal, tapi biasanya lama-lama mereka bakal menyindir sana-sini untuk bahan melucu. Akhirnya malah gak lucu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H