Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ghostwriter

Pekerja sektor informal. Juru ketik di emperbaca.com. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

PPDB Zonasi dan Siswa Pintar yang Terimpit Kompetensi Guru, Fasilitas, dan Kasta Sekolah dari Pemerintah

3 Juni 2021   12:03 Diperbarui: 4 Juni 2021   05:26 888
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sekolah Standar Nasional (SSN). Foto: Kemdikbud via kompas.com

Muhadjir Effendy, Mendikbud yang menandatangi aturan tentang PPDB zonasi, pernah bilang, "Anak pintar itu penting di semua sekolah, disamping bisa mengembangkan diri lebih leluasa, juga mengatrol teman-temannya yang masih tertinggal secara akademik. Bagus sekali dalam membangun rasa kesetiakawanan."

Apakah benar?!

Anak rajin dan pandai besar kemungkinan terbawa mayoritas kawannya yang malas jika dia tiap hari bergaul dengan mereka. Pun sebaliknya, anak malas akan jadi rajin jika dia sering berada di tengah mayoritas anak yang suka belajar.

Lagipula bagaimana anak dengan bakat akademis leluasa mengembangkan diri kalau sekolahnya tidak punya fasilitas penunjang dan dia direpotkan mengatrol teman-temannya?

Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) berdasarkan zonasi sejatinya bagus, bagian dari reformasi pendidikan yang mencakup kurikulum, sebaran guru, sebaran peserta didik, dan kualitas sarana prasarana yang ditangani berdasarkan zonasi.

Payung hukumnya ada di Permendikbud No. 1 Tahun 2021 yang menguatkan Permendikbud No. 14 Tahun 2018 yang dikeluarkan untuk mendukung Permendikbud No. 17 Tahun 2017.

Permendikbud tersebut didukung oleh Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2017 sebagai pengganti dari PP No. 74 Tahun 2008, untuk mengubah beban kerja guru. Selain itu ada Perpres No. 87 Tahun 2017 sebagai pengganti dari Permendikbud No. 23 Tahun 2015 tentang penumbuhan budi pekerti.

Pantas banyak yang bilang Indonesia negara hukum, landasan untuk PPDB zonasi saja segambreng.

Walau sistem zonasi sudah dimulai pada 2016, namun penerapan PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) berdasarkan zonasi, baru diterapkan pada tahun ajaran 2017/2018, menunggu tahun ajaran 2016/2017 selesai.

Kasta Sekolah

Muhadjir Effendi, Mendikbud yang membuat aturan zonasi, mengatakan bahwa PPDB zonasi merupakan kebijakan terbaik untuk menghilangkan kasta sekolah, favorit, dan bukan favorit.

Bila kita tarik benang ke belakang, label unggulan yang ada pada sekolah tertentu sebenarnya dibangun sendiri oleh pemerintah dengan adanya akreditasi A, B, C dan Sekolah Standar Nasional (SSN).

Bahkan dulu ada Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) sebelum dibubarkan pada 2013 lewat putusan Mahkamah Konstitusi. 

RSBI dan SBI lantas jadi sekolah unggulan disamping Sekolah Standar Nasional yang berakreditasi A. Sekolah-sekolah itulah lalu difavoritkan karena diincar banyak siswa dan orang tua.

Kini pemerintah ingin gampangnya saja. Menerapkan aturan PPDB zonasi untuk menghilangkan kasta sekolah dan label unggulan yang mereka bangun sendiri tanpa lebih dulu membenahi sekolah yang tidak unggul.

Tulisan ini tidak membahas tentang sekolah swasta karena konteks PPDB zonasi adalah meratakan mutu sekolah negeri. Mutu sekolah swasta dapat sekejap menjangkau langit tergantung orang tua apakah mereka mau mengeluarkan uang sampai ke awan atau tidak.

Fasilitas sekolah dan kompetensi guru

Apakah tujuan pemerintah menyebar anak-anak rajin dan berintelijensi tinggi ke semua sekolah akan memajukan kualitas sekolah tersebut?

Nampaklah, bukannya tambah pintar mereka malah jadi tumpul. Tiada fasilitas perpustakaan yang lengkap, apalagi ruangan komputer dan bahasa. Bangunan sekolahnya kusam dan kecil, juga tidak ada ekstrakurikuler yang dapat menunjang minat dan bakat mereka.

Sementara para siswa pintar itu diajar oleh guru yang buku-buku ajarnya selalu telat datang, tidak pernah ikut pendidikan dan pelatihan, tiada workshop untuknya apalagi seminar, bimbingan teknis, dan tidak pernah belajar pengetahuan baru tentang ilmu yang diampu olehnya.

Lho, kan, sudah ada uji kompetensi guru dan pelatihan rutin?

Ya, untuk guru ASN. Ironisnya di sekolah negeri separuh dari guru yang mengajar statusnya honorer. Guru honorer tidak dapat pendidikan, tunjangan, atau pelatihan seperti yang didapat guru ASN (Aparatur Sipil Negara).

Distribusi guru ASN belum rata dan masih numpuk di kota besar. Fakta lain berdasarkan data Kemdikbud, Indonesia masih kekurangan lebih dari juta guru setiap tahun dalam kurun 2020-2024 karena pembukaan sekolah, kelas dan kelas baru tidak diimbangi dengan rekrutmen CPNS.

Memerhatikan hal diatas, masihkah kita berpikir kualitas sekolah dapat didongkrak hanya dengan menaruh siswa-siswi pintar di sekolah tersebut?

Pembiayaan Sekolah

Anggaran pendidikan besarnya 20% dari APBN yang dialokasikan sejak 10 tahun lalu. Namun, Menkeu Sri Mulyani pun mengakui bahwa kualitas pendidikan di Indonesia bahkan kalah dari Vietnam.

Bagaimana pendidikan mau bagus kalau hanya mencemplungkan siswa-siswi cerdas dan berbakat akademis ke sekolah yang minim fasilitas dan kompetensi guru.

Soal pembiayaan, sekolah yang telah mendapat label unggulan umumnya relatif tidak kesulitan membiayai kegiatan ekstrakurikuler dan menambah fasilitas sekolah karena komite sekolah dapat menerima iuran sukarela dari orang tua/wali siswa.

Tertulis pada Permendikbud No. 75 Tahun 2016 pasal 10 ayat 1 bahwa komite sekolah melakukan penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya untuk melaksanakan fungsinya dalam memberikan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan.

Itu salah satu hal yang memungkinkan sekolah unggulan mempertahankan kualitasnya.

Di sekolah anak lelaki saya, upah guru honorer, pelatih ekstrakurikuler, dan renovasi bangunan dibiayai dari iuran orang tua dan wali siswa. Kalau menunggu dana renovasi dari Pemkab, selain lama, prosesnya juga ribet.

Sedangkan sekolah yang komitenya tidak dapat mengumpulkan sumbangan karena mayoritas orang tuanya ekonomi lemah, sebaiknya jadi prioritas Pemkab dan Pemkot, tidak harus menunggu arahan dan persetujuan Kemdikbud karena sistem pendidikan di Indonesia menganut desentralisasi.

Kalau tidak bisa menggunakan anggaran pendidikan untuk memajukan pendidikan di Indonesia, jangan lempar anak-anak yang punya bakat akademik ke sekolah yang nyata-nyata tidak berkemampuan mendukung bakat mereka, atas nama pemerataan mutu pendidikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun