Memerhatikan hal diatas, masihkah kita berpikir kualitas sekolah dapat didongkrak hanya dengan menaruh siswa-siswi pintar di sekolah tersebut?
Pembiayaan Sekolah
Anggaran pendidikan besarnya 20% dari APBN yang dialokasikan sejak 10 tahun lalu. Namun, Menkeu Sri Mulyani pun mengakui bahwa kualitas pendidikan di Indonesia bahkan kalah dari Vietnam.
Bagaimana pendidikan mau bagus kalau hanya mencemplungkan siswa-siswi cerdas dan berbakat akademis ke sekolah yang minim fasilitas dan kompetensi guru.
Soal pembiayaan, sekolah yang telah mendapat label unggulan umumnya relatif tidak kesulitan membiayai kegiatan ekstrakurikuler dan menambah fasilitas sekolah karena komite sekolah dapat menerima iuran sukarela dari orang tua/wali siswa.
Tertulis pada Permendikbud No. 75 Tahun 2016 pasal 10 ayat 1 bahwa komite sekolah melakukan penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya untuk melaksanakan fungsinya dalam memberikan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan.
Itu salah satu hal yang memungkinkan sekolah unggulan mempertahankan kualitasnya.
Di sekolah anak lelaki saya, upah guru honorer, pelatih ekstrakurikuler, dan renovasi bangunan dibiayai dari iuran orang tua dan wali siswa. Kalau menunggu dana renovasi dari Pemkab, selain lama, prosesnya juga ribet.
Sedangkan sekolah yang komitenya tidak dapat mengumpulkan sumbangan karena mayoritas orang tuanya ekonomi lemah, sebaiknya jadi prioritas Pemkab dan Pemkot, tidak harus menunggu arahan dan persetujuan Kemdikbud karena sistem pendidikan di Indonesia menganut desentralisasi.
Kalau tidak bisa menggunakan anggaran pendidikan untuk memajukan pendidikan di Indonesia, jangan lempar anak-anak yang punya bakat akademik ke sekolah yang nyata-nyata tidak berkemampuan mendukung bakat mereka, atas nama pemerataan mutu pendidikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H