Saya punya tiga sahabat sejak SD dan kami masih berkawan hingga sekarang. Saat di SMP kami mulai suka baca buku berawal dari sering belanja alat tulis di Gramedia Melawai (Blok M, Jaksel).Â
Pada medio 1990-an, buku-buku di toko Gramedia tidak disampul sehingga banyak orang yang menghabiskan waktu dengan membaca gratis di sana. Kami pun ikutan baca.
Kami berempat punya selera buku yang berbeda, namun kami membaca hampir semua genre komik dari Conan, Doraemon, Tintin, sampai novel karangan YB Mangunwijaya dan Karl May.Â
Untuk anak SMP di era kami novel karya Romo Mangun dan seri Winnetou karya Karl May tergolong bacaan berat. Kami juga, jujur, pada waktu itu kesulitan memahaminya karena membacanya untuk gaya-gayaan saja. Makanya ketika dewasa saya beli lagi buku dari dua pengarang itu untuk dibaca ulang.
Apa kami baca semua buku itu secara gratis di Gramedia?
Separuh iya separuh tidak. Setelah berbulan-bulan numpang baca gratis, akhirnya kami sampai pada kesadaran bahwa semua buku itu harus dibeli.
Pada waktu itu harga buku sudah termasuk mahal. Komik yang tergolong baru harganya sudah Rp15rb. Sementara serial cantik terbitan Elex Media Komputindo masih murah di harga Rp7rb - Rp10rb.
Jadi kami cari buku (terutama karangan Hilman Hariwijaya) yang paling kami sukai lalu kami beli secara urunan. Kalau tidak urunan kami saling tukar pinjam buku koleksi masing-masing.
Saya sendiri lebih banyak membeli novel daripada komik. Saya mengoleksi serial Goosebumps, seri Lima Sekawan dan Mallory Towers dari Enid Blyton, dan semua karangan Hilman Hariwijaya, tentu.Â
Beberapa buku karya Ahmad Tohari, Pipiet Senja, NH Dhini, dan Sapardi Djoko Damono juga saya koleksi, tapi saya membelinya karena disuruh ayah, bukan keinginan sendiri. Katanya untuk memperkaya wawasan.Â
Padahal saya masih SMP. Enggak banget baca bacaan begituan. Bayangkan anak SMP baca Bekisar Merah dan Orang-orang Tran, apa tidak mabok?!
Ketika dewasa saya baca juga karangan Radhar Panca Dahana karena terpengaruh ayah. Sementara koleksi buku-buku ibu karangan Maria A. Sardjono, Sandra Brown, dan Agatha Christie dilungsurkan ke saya.
Saya dan ketiga sahabat (Lia, Desi, dan Tatun) secara rutin kumpul seminggu sekali sepulang sekolah di rumah Lia di Jalan Wijaya untuk membaca buku. Kalau sedang bosan membaca, kami nonton film bareng sambil makan mie ayam.Â
Sejak kelas 1 (sekarang kelas 7) kami berempat sudah beda kelas dan ikut ekstrakurikuler yang berbeda, jadi yang menyatukan kami adalah buku.
Ndilalah, setelah kami rutin membeli, semua buku di Gramedia disampul rapat. Tidak lagi boleh dibaca gratis. Awalnya sulit menentukan mana buku yang harus kami beli karena tidak bisa membaca cuplikannya di halaman dalam. Informasi hanya tersedia di belakang buku.
Sebagai jalan aman supaya tidak salah beli (karena kami bukan anak-anak sultan yang boleh keluar uang seenaknya) kami mencari di rak "Best Seller" atau "Buku Baru".
Kadang tanpa diminta ada pegawai Gramedia yang menunjukkan buku-buku bagus terbaru yang bisa kami pilih, lengkap dengan sinopsisnya (saking seringnya kami ke sana si pegawai sampai hapal).
Apakah kami lantas jadi kutu buku? Tidak, yang kutu buku hanya Lia, mungkin karena kebetulan kedua orang tuanya adalah guru di SMUN 6, salah satu SMA unggulan di Jaksel. Dulu SMA sempat ganti nama jadi SMU.
Kesukaan kami membaca buku mungkin mendasari pola pikir kami di masa dewasa untuk memanfaatkan waktu seefektif mungkin. Selulus SMP kami sekolah di SMU dan kampus berbeda, namun kami punya kesamaan.
Pada waktu anak kuliahan lain sibuk rapat BEM atau nongkrong kesana-kemari, kami sudah bisa menghasilkan uang sendiri meski tidak banyak.Â
Kami membuat makalah untuk mahasiswa yang malas, menjadi asisten dosen, melatih taekwondo, menjadi wartawan lepas, jadi band kafe, bekerja paruh waktu di production house, jadi guru les, sampai jadi baby sitter menjaga anak ekspatriat.
Sekarang kami berempat sudah jadi ibu-ibu. Kesukaan membaca buku kami turunkan juga ke anak-anak. Walau YouTube lebih menggoda, namun sesempatnya kami ajak baca buku bersama dan mendongeng untuk mereka selagi mereka balita.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI