Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ghostwriter

Istri petani. Juru ketik di emperbaca.com. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bibit Bebet Bobot bagi Orang Jawa Bukan Hanya Jabatan, Keturunan, dan Harta yang Kasat Mata

15 Maret 2021   08:46 Diperbarui: 15 Maret 2021   09:52 1018
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi jodoh dari pixabay.com/mohamed_hassan

Banyak yang mengartikan (termasuk sebagian orang Jawa yang menafsirkan hanya dari luarnya saja) bahwa filosofi bibit, bebet, dan bobot semata mencari jodoh harus yang pintar, keturunan orang kaya, berkelas, dan terpandang.

Orang dari kelas menengah-bawah boleh saja menikahi orang dari kelas atas selama bibit bebet bobotnya bagus.

Bibit

Anak adalah cerminan orang tua. Selain karena anak tiap hari berinteraksi dengan orang tua, juga ada genetik yang diturunkan orang tua pada anaknya.

Anak cerdas selain mendapat gen dari orang tuanya juga dibentuk dari pola asuh yang tepat.

Pola asuh yang buruk sangat mungkin ditiru oleh anak ketika mereka sudah punya anak juga. 

Maka penting bagi perempuan untuk mengetahui apakah ada riwayat KDRT dalam rumah tangga orang tua calon suami.

Anak yang tumbuh berhias pertengkaran orang tuanya sangat mungkin punya lebih banyak masalah kesehatan dan gangguan emosi ketika mereka dewasa.

Dapat dikatakan juga, lebih baik punya calon yang berasal dari keluarga biasa namun pola asuhnya baik daripada anak pejabat eks napi korupsi. 

Kenapa? Karena kemungkinan besar pelaku korupsi (juga suap dan gratifikasi) itu sudah memberi menafkahi anak-anaknya dengan uang haram. 

Bagi yang percaya karma, uang haram yang digunakan untuk menafkahi keluarga, kelak akan diambil kembali dalam bentuk lain. Misal, anak jadi sakit-sakitan, rumah tangganya berserakan, atau usahanya berantakan.

Menurut psikolog Anna Surti Ariani, anak koruptor berpotensi korup juga jika dia melihat bahwa apa yang dilakukan orang tuanya itu tidak salah dan mengira orang tuanya sedang dizalimi.

Selain itu, bibit dalam mencari jodoh termasuk juga mengetahui apa ada penyakit genetik yang yang berpotensi diwarisi ke keturunannya. Ini penting diketahui supaya (jika memutuskan menikah) penyakit genetik itu dapat dicegah atau diminimalisir sedari dini.

Ibu yang suka menggosip dan ghibah juga jadi pertimbangan karena sewaktu-waktu bisa saja si ibu membicarakan rumah tangga anaknya yang dapat mempermalukan keluarga besan. 

Nama baik penting karena anak-cucu kelak ikut menanggung citra itu. Mereka ikut bangga jika kakek-buyut punya akhlak dan perilaku terpuji, namun menanggung malu pula jika kakek-buyutnya bertabiat jelek.

Bobot

Orang berpendidikan yang mengamalkan ajaran agamanya secara benar dan proporsional sudah tentu perilaku dan tata kramanya juga baik. Dia pasti akan memperlakukan istri/suaminya dengan hormat dan sederajat dengan landasan kasih sayang.

Orang yang pendidikannya high, tapi pengamalan agamanya low bakal kebablasan karena tidak menganggap penting nilai-nilai agama. Hidupnya akan "semua gue".

Sebaliknya, orang yang hanya kenal agama tanpa kenal sains juga bakal keblinger karena dia (jika berdakwah) akan bicara tanpa landasan tafsir kitab suci yang tepat. Pun akan menafikan perkembangan zaman dan teknologi.

Istri atau suami yang merasa diri lebih pintar atau lebih agamis akan sulit berbaur dengan keluarga besar mertuanya. Kalaupun berbaur dia tidak akan disukai karena dari pembawaannya saja terlihat songong dan sombong. Diajak ngobrol nggak asyik, diajak bercanda apalagi, bisa-bisa malah menggurui, baper atau tersinggung.

Jadi, kalau disuruh milih, mending mana? Yang pinter atau yang rajin dakwah? Pilihlah yang rajin salat dan puasa Ramadannya tidak pernah bolong. Dan bukan anggota pengajian yang mendorong lelaki untuk poligami. 

Bebet

Garis besar dari bebet adalah kemampuan lelaki mencari nafkah dan tanggung jawabnya terhadap kebahagiaan istri dan anak secara lahir dan batin.

Meski si lelaki datang dari keluarga pas-pasan namun orang tuanya harmonis, pendidikannya oke (minimal sarjana), dan pengamalan agamanya bagus, baiknya orang tua mengizinkan anak perempuan menikahi si lelaki jika dia pekerja keras.

Pekerja keras yang dimaksud yaitu dia iakerja sungguh-sungguh dan lurus pada profesi yang dijalaninya. Jika berdagang, dia jujur dan amanah. Jika pelayan publik, dia efisien dan tidak menerima suap.

Bebet yang buruk seperti pengangguran dan pemalas (karena merasa sudah dapat warisan), harus dihindari. Pengangguran dan pemalas yang dinikahi perempuan berpenghasilan cenderung malah jadi makin malas daripada termotivasi mencari nafkah untuk istrinya.

Lalu, soal bibit-bobot-bebet diatas, apa mungkin mencari yang semuanya bagus? Manusia, kan, tidak ada yang sempurna. Memang tidak ada yang sempurna, tapi yang bibit-bobot-bebetnya bagus, ada tuh, suami saya buktinya, hemm!

Simpelnya, lelaki penyuka clubbing akan "klik" dengan perempuan yang juga suka clubbing. Perempuan jebolan pondok pasti akan mencari lelaki yang pernah mondok pula, gak mungkin cari yang hedon. Itu saja sebenarnya sudah cukup kalau ingin nikah tanpa komitmen dan tanpa hak dan kewajiban yang seimbang antara suami-istri.

Pada zaman ini pemahaman bibit-bobot-bebet sudah bergeser dan tidak pas diterapkan baik oleh orang Jawa apalagi yang bukan Jawa. 

Dianggap bahwa yang bibitnya bagus kalau ganteng dan cantik dan berasal dari orang tua terpandang. Bobotnya dianggap bagus kalau gelar akademiknya berderet-deret padahal ijazahnya palsu. Bebetnya bagus kalau punya duit banyak padahal tidak jelas darimana asal-usul duit itu.

Last but not least, kalau ada lelaki atau perempuan yang menyatakan bahwa dia mencari orang kaya untuk dinikahi karena pertimbangan bibit-bobot-bebet, itu namanya materialistik, bukan mengikuti filosofi yang sesungguhnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun