Jika seorang gadis punya mobil, motor, emas, tanah, rumah, tabungan, dan apapun yang dia beli semasa lajang, maka itu adalah harta pribadi atau harta bawaan.
Lajang yang dimaksud di sini adalah yang belum menikah, bukan jomlo. Meskipun si gadis sudah punya pacar namun belum menikah, dalam konteks harta yang saya maksud di tulisan ini tetap dinamakan lajang.
Penting bagi si gadis lajang untuk menyimpan bukti kekayaannya, misal buku tabungan, rekening koran, atau apapun (meski hanya tabungan senilai 1 jutaan) supaya harta pribadi kelak, jika dia menikah, tidak tercampur sebagai harta bersama, atau yang disebut sebagai harga gono-gini.
Harta gono-gini adalah istilah untuk semua pendapatan, penghasilan, dan barang-barang yang dihasilkan dan dibeli selama pernikahan, baik yang dibeli hanya oleh suami, istri, atau dibeli urunan menggunakan uang suami dan istri. Disebut juga sebagai harta bersama (pasal 35 UU No. 1 tahun 1974).
Dalam Quran, sunah, dan fiqih sebenarnya tidak terlihat adanya harta bersama dalam pernikahan, tapi dikenal adanya pemisahan harta suami dan istri (QS: An-Nisa:12).
Pada surah An-Nisa ayat 12dijelaskan bahwa masing-masing suami dan istri memiliki hak atas hartanya masing-masing.
Namun, karena Indonesia menggunakan Kompilasi Hukum Islam (KHI) maka jika si gadis menikah lalu bercerai (hidup atau mati) maka tetap dikenal adanya harta bersama.
Harta bersama ini yang dibagi-bagi ke para ahli waris sesuai Pasal 97 KHI, bukan harta bawaan.
Apa saja yang termasuk harta bawaan atau harta pribadi selain penghasilan dan benda yang dibawa seorang gadis sebelum menikah?
KHI Pasal 87 menyebutkan:
Harta bawaan masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Saya sarankan kepada para gadis supaya memilih betul-betul calon suaminya agar terhindar punya suami kere atau mokondo (modal ko*** doang).Tidak perlu cari yang kaya, minimal penghasilannya setara.
Alasannya:
1. Jika penghasilan istri lebih besar maka rela tidak rela dia pasti akan membiayai kebutuhan rumah tangga (listrik, air, belanja makanan, bahkan sewa rumah), padahal itu adalah kewajiban suami.
Menurut Dr Syekh Yusuf Al-Qardhawi, walaupun termasuk orang kaya atau mempunyai pekerjaan yang menghasilkan harta banyak, seorang istri tidak wajibmenafkahi keluarganya. Para imam mazhab pun tidak ada yang mewajibkan istri yang kaya untuk menafkahi suaminya yang miskin. Kecuali imam golongan Adz-Dzahiri, yaitu Imam Ibnu Hazm.
2. Jika dalam membiayai rumah tanggasi istri membeli elektronik, perhiasan, perabot, bahkan kendaraan, maka barang-barang itu akan dihitung sebagai harta bersama, meski semua dibeli 100ri duit istri.
3. Andai, andai ya, terjadi perceraian (cerai hidup atau mati) maka suami juga kebagian harta gono-gini dari barang dan uang yang dihasilkan dan dibeli istri.
Sayang banget, kan, kalau perempuan yang capek kerja, lakinya ongkang-ongkang kaki, eh hartanya jadi milik bersama.
Di luar sana memang tidak sedikit istri yang menopang biaya rumah tangganya karena suami jatuh sakit atau pendapatan suami minim. Tidak apa, itu konteks lain lagi.
Banyak juga pasangan suami-istri yang baru 1-2 tahun menikah tiba-tiba si suami kena PHK atau usahanya bangkrut.
Kalau mengalami yang seperti itu, dorong dia mencari pekerjaan baru atau beri dia semangat untuk berniaga, memanfaatkan hobinya untuk mencari nafkah, atau apapun asal dia ada penghasilan meskipun sedikit.
"Dorongnya" bukan dengan marah-marah, iya, kecuali suaminya ndablek. Dirayu untuk berusaha dapat penghasilan malah pasang togel. Dicolek biar kerja malah nongkrong ngerumpi sama emak-emak kampung.
Berkaitan dengan harta bawaan dan harta bersama, hukum Islam memberikan kelonggaran kepada suami-istri untuk membuat perjanjian pernikahan yang pada akhirnya akan mengikat secara hukum.
Jadi, jika istri diizinkan suami untuk tetap berkarir dan mereka sepakat untuk membuat perjanjian pemisahan harta, hal itu dibolehkan dan konsekuensinya: tidak ada harta bersama.
Dengan demikian, jika istri meninggal lebih dulu, si suami tidak akan dapat warisan darinya karena harta pribadi istri jatuh ke orang tua, dan atau saudara kandungnya, atau kerabatnya yang lain sesuai yang telah disyariatkan agama (Islam).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H