Alasannya:
1. Jika penghasilan istri lebih besar maka rela tidak rela dia pasti akan membiayai kebutuhan rumah tangga (listrik, air, belanja makanan, bahkan sewa rumah), padahal itu adalah kewajiban suami.
Menurut Dr Syekh Yusuf Al-Qardhawi, walaupun termasuk orang kaya atau mempunyai pekerjaan yang menghasilkan harta banyak, seorang istri tidak wajibmenafkahi keluarganya. Para imam mazhab pun tidak ada yang mewajibkan istri yang kaya untuk menafkahi suaminya yang miskin. Kecuali imam golongan Adz-Dzahiri, yaitu Imam Ibnu Hazm.
2. Jika dalam membiayai rumah tanggasi istri membeli elektronik, perhiasan, perabot, bahkan kendaraan, maka barang-barang itu akan dihitung sebagai harta bersama, meski semua dibeli 100ri duit istri.
3. Andai, andai ya, terjadi perceraian (cerai hidup atau mati) maka suami juga kebagian harta gono-gini dari barang dan uang yang dihasilkan dan dibeli istri.
Sayang banget, kan, kalau perempuan yang capek kerja, lakinya ongkang-ongkang kaki, eh hartanya jadi milik bersama.
Di luar sana memang tidak sedikit istri yang menopang biaya rumah tangganya karena suami jatuh sakit atau pendapatan suami minim. Tidak apa, itu konteks lain lagi.
Banyak juga pasangan suami-istri yang baru 1-2 tahun menikah tiba-tiba si suami kena PHK atau usahanya bangkrut.
Kalau mengalami yang seperti itu, dorong dia mencari pekerjaan baru atau beri dia semangat untuk berniaga, memanfaatkan hobinya untuk mencari nafkah, atau apapun asal dia ada penghasilan meskipun sedikit.
"Dorongnya" bukan dengan marah-marah, iya, kecuali suaminya ndablek. Dirayu untuk berusaha dapat penghasilan malah pasang togel. Dicolek biar kerja malah nongkrong ngerumpi sama emak-emak kampung.
Berkaitan dengan harta bawaan dan harta bersama, hukum Islam memberikan kelonggaran kepada suami-istri untuk membuat perjanjian pernikahan yang pada akhirnya akan mengikat secara hukum.