Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ghostwriter

Pekerja sektor informal. Juru ketik di emperbaca.com. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Anak-anak yang Tidak Suka Musik Meski Ibunya Eks Anak Band

23 Januari 2021   16:43 Diperbarui: 23 Januari 2021   16:47 699
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dahulu waktu saya ikut pengajian di kompleks perumahan Sarua Permai pernah ustadznya mengatakan bahwa muslim harusnya mengaji bukan main musik. Musik itu teman setan dan kesukaan orang kafir. Auto kafir auto murtad.

Ahh, mungkin Pak Ustadz lupa kalau qasidah dan marawis yang dimainkan ibu-ibu muslimah dan anak-anak muda kampung, itu juga musik. Tidak dilarang sama MUI juga.

Sunan Kalijaga menciptakan lagu ilir-ilir sebagai sarana dakwah kepada orang Jawa yang dulu belum mengenal Islam. Pun Sunan Giri menciptakan lagu Cublak-cublak Suweng. Lagu yang mengajarkan makna hidup manusia.

Ahh, mungkin Pak Ustadz lupa sejarah wali songo di pulau Jawa yang sering berdakwah menggunakan kearifan lokal. Gamelan, wayang, dan lagu. Bisa jadi Pak Ustadz bukan orang Jawa meski beliau lahir dan tinggal di pulau Jawa.

Lagipula, kalau mengaji, sih, pasti anak-anak kami harus pandai, kan agamanya Islam. Bapaknya, yang juga suami saya, keluarga NU tulen sejak zaman Belanda. 

Di sekolah anak-anak pun diajarkan hafalan surah-surah pendek beserta tajwidnya, dari ikhfa, iqlab, izhar, sampai idgham mutamatsilain. Sama seperti anak-anak Hindu harus paham isi Baghavad Gita, anak-anak Islam harus pandai membaca kitab sucinya.

Selain murotal anak-anak juga sering saya perdengarkan lagu-lagu ciptaan Ibu Soed, Pak Kasur, AT Mahmud, Papa T. Bob, Mamo Agil, sampai lagu-lagu perjuangan. 

Apakah anak-anak jadi suka menyanyi dan mendengarkan musik? Tidak.

Kalau ada praktikum online yang berhubungan dengan musik, entah itu bermain pianika, suling recorder, atau bernyanyi dan menari, pasti ada banyak drama diantara kami. 

Si tole pura-pura sibuk mengerjakan latihan soal matematika dan si genduk mengeluarkan kata-kata mutiara andalannya, "Aku kan masih kecil, ga boleh dipaksa ngapa-ngapain, kata papa anak kecil harus happy terus.'

Sebenarnya saya juga tidak pandai main musik. Saya hanya bisa main keyboard. Main gitar pun hanya yang chordnya mudah, paling jago ya main suling recorder dan pianika karena waktu SMP sering ikut lomba ansamble musik dan drumband.

Waktu SMA saya pernah setahun lebih bergabung di band sebelum akhirnya dikeluarkan tanpa pemberitahuan, seperti Momo Geisha itu, lho. Tahu-tahu posisi saya sudah digantikan orang lain yang lebih kece, kaya, dan keren. Ya sudahlah, memang gak bakat jadi anak band, barangkali.

Enam orang bandmates berasal dari sekolah yang berbeda, saya satu sekolah dengan gitarisnya. Karena berbeda sekolah kami hanya latihan seminggu sekali. Semua anggota band anak baik-baik dan kami beberapa kali dapat tawaran manggung di acara-acara pentas seni antarsekolah. 

Bayarannya lumayan, bisa untuk beli sepatu Docmart dan Converse. Kalau pentas seninya berlangsung di sekolah salah satu bandmates, ya tidak dibayar.

Maka itu, tidak ada salahnya kalau saya ingin anak-anak menguasai satu saja instrumen musik, kan? Siapa tahu bisa seperti Tohpati atau Taylor Swift atau Isyana Sarasvati.

Musik, terutama piano dan instrumen pencet lainnya, dapat menyeimbangkan otak kanan dan kiri. Rasanya tidak ada musisi yang doyan marah-marah kecuali Ahmad Dhani, eh gak tahu juga, sih. Pokoknya kalau pandai main musik itu biasanya orangnya lebih sabar dan cool.

Kata Pak Ustadz kalau mau anaknya penyabar dan penyayang sering-sering diajari zikir dan istighfar selain puasa dan mengaji. Ya itu pasti, Ustadz. Kita kan hidup di dunia, punya kebutuhan sesuai dunia yang kita tinggali meski bekal untuk akhirat juga gak boleh lupa.

Yang jelas, makin besar usia anak-anak kami, makin mereka tak menunjukkan tanda-tanda ingin dekat dengan musik. Bukan hanya musik, makin tambah usia mereka kalau beli buku pun tak mau yang banyak gambarnya, katanya sayang beli buku kalau gambarnya kebanyakan karena cerita yang dibaca jadi berkurang. 

Padahal waktu saya seusia mereka saya suka banget baca komik-komik Jepang daripada buku-buku sains dan ensiklopedia. Gen bapaknya lebih kental mungkin.

Beda generasi beda zaman. Anak-anak memang tidak boleh dipaksa. Mereka hanya boleh dibimbing menyusuri jalan yang benar dan dikenalkan dengan banyak hal baik yang ada di dunia. Soal hobi dan cita-cita, nanti waktu yang akan menjawab akan jadi apa mereka kelak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun