Enam orang bandmates berasal dari sekolah yang berbeda, saya satu sekolah dengan gitarisnya. Karena berbeda sekolah kami hanya latihan seminggu sekali. Semua anggota band anak baik-baik dan kami beberapa kali dapat tawaran manggung di acara-acara pentas seni antarsekolah.Â
Bayarannya lumayan, bisa untuk beli sepatu Docmart dan Converse. Kalau pentas seninya berlangsung di sekolah salah satu bandmates, ya tidak dibayar.
Maka itu, tidak ada salahnya kalau saya ingin anak-anak menguasai satu saja instrumen musik, kan? Siapa tahu bisa seperti Tohpati atau Taylor Swift atau Isyana Sarasvati.
Musik, terutama piano dan instrumen pencet lainnya, dapat menyeimbangkan otak kanan dan kiri. Rasanya tidak ada musisi yang doyan marah-marah kecuali Ahmad Dhani, eh gak tahu juga, sih. Pokoknya kalau pandai main musik itu biasanya orangnya lebih sabar dan cool.
Kata Pak Ustadz kalau mau anaknya penyabar dan penyayang sering-sering diajari zikir dan istighfar selain puasa dan mengaji. Ya itu pasti, Ustadz. Kita kan hidup di dunia, punya kebutuhan sesuai dunia yang kita tinggali meski bekal untuk akhirat juga gak boleh lupa.
Yang jelas, makin besar usia anak-anak kami, makin mereka tak menunjukkan tanda-tanda ingin dekat dengan musik. Bukan hanya musik, makin tambah usia mereka kalau beli buku pun tak mau yang banyak gambarnya, katanya sayang beli buku kalau gambarnya kebanyakan karena cerita yang dibaca jadi berkurang.Â
Padahal waktu saya seusia mereka saya suka banget baca komik-komik Jepang daripada buku-buku sains dan ensiklopedia. Gen bapaknya lebih kental mungkin.
Beda generasi beda zaman. Anak-anak memang tidak boleh dipaksa. Mereka hanya boleh dibimbing menyusuri jalan yang benar dan dikenalkan dengan banyak hal baik yang ada di dunia. Soal hobi dan cita-cita, nanti waktu yang akan menjawab akan jadi apa mereka kelak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H