Platform
media sosial (medsos) yang punya fitur gembok memang hanya Twitter, tetapi semua medsos punya fitur privasi alias tidak sembarang orang bisa melihat apa yang kita posting.Tetapi ini beda dengan akun Donald J Trump yang “digembok” oleh Facebook, Twitter, dan Snapchat untuk menghindari provokasi dan kekacauan. Akun suatu medsos digembok karena pemiliknya butuh privasi.
Kenapa butuh gembok dan privasi? Kalau curhat, kan, bisa di buku harian, kenapa harus di medsos yang adalah ranah publik? Haram mengumbar aib sendiri!
Jangan kezel dulu, Ferguso.
Media sosial awalnya dibuat bukan untuk curhat, tapi berbagi pemikiran, pendapat, dan pengalaman yang kadang tidak sengaja mengarah ke ranah pribadi yang terkesan curhat.
Meski demikian, ada alasan kenapa orang suka mengungkapkan curahan hati di medsos.
Pertama sudah tidak ada yang jual diary bergembok. Di tahun 90-an sih banyak, tetapi sekarang? Kalaupun masih ada, buku-buku harian itu mau ditaruh dimana? Di lemari, di bawah kasur, atau di rak buku? Bakal "makan" tempat, kan.
Kedua, bagi sebagian orang medsos itu ya tempat "curahan hati" karena tiada orang di dunia nyata yang dapat menampung isi hatinya. Dengan menulis di medsos minimal ada kelegaan hati. Karena itu mereka memilih menggembok akunnya supaya hanya orang-orang terpercaya saja yang boleh melihatnya.
Ketiga, zaman berubah. Mau tidak mau kita hidup menyesuaikan dengan zaman. Kalau kita hidup di zaman Majapahit mungkin kita akan menulis di daun lontar, bukan di buku harian bergembok, apalagi di Kompasiana.
Karena sekarang kita hidup di era digital, maka hidup kita sudah banyak dipengaruhi oleh internet dan teknologi komunikasi, termasuk penggunaan media sosial.
Keempat, menulis di buku harian perlu waktu lebih banyak. Untuk mengetik 100 kata hanya butuh waktu satu menit di medsos, sedangkan di buku harian perlu tiga menit.
Menurut psikolog UI, Endang Mariani Rahayu, curhat di medsos sebenarnya malah dapat menambah beban stres seseorang.