Anda generasi Baby Boomer, X, dan Milenial awal pasti ingat koran Pos Kota bikinan mantan Menteri Penerangan Harmoko dkk. Pos Kota adalah koran kuning pertama di Indonesia yang terbit pada 1970.
Kemunculan Pos Kota membuat banyak orang bertanya, "Ini jurnalisme apa?"Â
Lalu dijawab oleh Harmoko (waktu itu belum jadi menteri), "Pokoknya kalau bukan golongan menengah ke bawah lebih baik jangan baca." Â
Setelah itu bermunculan media kuning lainnya dalam bentuk suratkabar, tabloid, dan majalah, mengikuti keberanian Pos Kota menjual berita-berita kriminal, seks, hiburan, dan gosip.Â
Pokoknya media yang isinya ihik-ihik dan uhuk-uhuk yang tidak mencerdaskan bangsa itulah koran kuning atau yellow journalism.
Tiga dekade setelah Pos Kota terbit pertama kali, muncullah harian Lampu Merah yang terbit di Jakarta dan sekitarnya, menyaingi kepopuleran Pos Kota.Â
Lama-lama "kedahsyatan" judul dan isi berita di Lampu Merah membuat Pos Kota jadi terlihat santun dan sopan. Pada 2008 Lampu Merah ganti nama jadi Lampu Hijau tapi masih dengan judul dan isi yang sama nyelenehnya.
Walau demikian, Pos Kota tetaplah raja koran kuning yang tidak tergantikan sepanjang masa.
Pada masa internet seperti sekarang, yellow journalism telah ganti rupa jadi jurnalisme clickbait. Tujuannya sama-sama menarik lebih banyak pembaca guna mendapat iklan. Isu yang diangkat juga sama, seputar seks, kriminal, dunia hiburan, dan gosip.
Dinamakan clickbait (umpan klik) karena media online tersebut membuat judul bombastis yang memancing rasa penasaran orang untuk mengkliknya. Kerap kali antara judul dan isi berita ga nyambung. Kalaupun nyambung terlihat sangat dipaksakan supaya tidak terkesan membohongi pembaca.
Menurut saya ada sedikit perbedaan antara koran kuning dengan media clickbait.
Pada koran kuning antara judul dan isi masih nyambung walaupun sedikit dan tidak substansial. Sedangkan media clickbait berani membuat judul yang sama sekali tidak nyambung dengan isi berita.Â
Misal, judulnya "Gisel Mau Goyang Sama Nobu, Ternyata Ini Penyebabnya" ternyata isi beritanya tentang Gading, mantan suami Gisel.
Meski jurnalisme kuning dianggap melenceng dari kaidah jurnalistik, namun yang perlu kita waspadai sekarang adalah jurnalisme ludah atau jurnalisme air liur karena berpotensi membuat kegaduhan dan memecah-belah masyarakat.
Sebuah berita disebut produk jurnalistik hasil tadahan air liur jika hanya memuat informasi dari satu narasumber saja (hanya narasumber primer tanpa narasumber sekunder atau sebaliknya) tanpa verifikasi, check and recheck dan cover both side.Â
Padahal tiga hal tersebut adalah kaidah yang harus dipegang teguh oleh wartawan karena sudah dimuat dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
Contohnya, ada media berita yang memuat wawancara dengan Hadi Pranoto yang mengatakan bahwa keluarga Ratu Elizabeth II membeli obat herbal buatannya dan sembuh dari Covid-19.
Wartawan tersebut sudah melakukan jurnalisme air liur karena memuat hasil wawancara dengan orang yang kredibilitasnya tidak jelas dan tidak kompeten di bidangnya, tanpa verifikasi atau konfirmasi ke Kedubes Inggris, Kemenkes, atau gugus tugas.Â
Sulit dinalar bila Ratu Inggris yang jadi pemimpin 53 negara persemakmuran membeli obat herbal racikan orang yang pakar keherbalannya belum terbukti.
Kalaupun wartawan, redaktur atau penyunting ingin tetap memuatnya, mestinya ada di kolom opini atau blog, bukan berita.
Pun jurnalisme ludah terjadi saat ada media memuat pernyataan Sitti Hikmawaty bahwa berenang di kolam bareng laki-laki bisa hamil. Si wartawan menulis bahwa dia sudah ragu atas pernyataan Sitti Hikmawaty itu, tapi tetap ditulis juga hanya karena si narasumber berstatus komisioner KPAI.
Disitulah kegaduhan terjadi. Energi bangsa dihabiskan untuk menertawakan atau mendukung hal-hal yang tidak penting bagi kemajuan pola pikir dan intelektualitas bangsa.
Jurnalisme air liur paling nyata terlihat saat pemilihan presiden 2014 dan 2019. Ada media yang menunjukkan bahwa mereka pro-Jokowi, pun pro-Prabowo, jadi narasumber merekapun hanya dari pihak yang pro-Jokowi saja atau pro-Prabowo saja.
Disitulah potensi perpecahan terjadi karena para pendukung kandidat terus-menerus mendapat bahan bakar untuk terus mendukung jagoannya dan membenci lawannya. Lama-lama mereka juga membenci orang yang jadi pendukung lawannya.
Kalau kita lihat lagi, ujung-ujungnya, sama seperti jurnalisme clickbait, ya duit.
Ada media berita yang sengaja memuat pemberitaan negatif untuk memancing apakah orang atau kelompok tersebut mau mengucurkan uang untuk slot iklan media tersebut atau tidak. Jika mau, maka pemberitaan yang bagus-bagus pasti ditulis, tapi jika tidak, ya sudah, berita negatif tentang orang atau lembaga itu akan mendominasi.
Meski KEJ dan UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers sudah sangat ketat mengatur agar tidak terjadi jurnalisme clickbait dan air liur, namun bisa saja seorang wartawan mengabaikan dan melakukan pelanggaran etika secara diam-diam.
Apalagi banyak wartawan terpaksa tunduk pada pemilik modal yang menaunginya. Apapun kemauan pemilik modal harus dituruti kalau tidak mau kehilangan pekerjaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H