Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ghostwriter

Juru ketik di emperbaca.com. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022. Istri peternak dan ibu dua anak.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Ganti Rupa Koran Kuning dan Jurnalisme Air Liur

6 Januari 2021   10:20 Diperbarui: 6 Januari 2021   10:39 2578
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkapan layar dari kumparan.com

Misal, judulnya "Gisel Mau Goyang Sama Nobu, Ternyata Ini Penyebabnya" ternyata isi beritanya tentang Gading, mantan suami Gisel.

Meski jurnalisme kuning dianggap melenceng dari kaidah jurnalistik, namun yang perlu kita waspadai sekarang adalah jurnalisme ludah atau jurnalisme air liur karena berpotensi membuat kegaduhan dan memecah-belah masyarakat.

Sebuah berita disebut produk jurnalistik hasil tadahan air liur jika hanya memuat informasi dari satu narasumber saja (hanya narasumber primer tanpa narasumber sekunder atau sebaliknya) tanpa verifikasi, check and recheck dan cover both side. 

Padahal tiga hal tersebut adalah kaidah yang harus dipegang teguh oleh wartawan karena sudah dimuat dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ).

Contohnya, ada media berita yang memuat wawancara dengan Hadi Pranoto yang mengatakan bahwa keluarga Ratu Elizabeth II membeli obat herbal buatannya dan sembuh dari Covid-19.

Wartawan tersebut sudah melakukan jurnalisme air liur karena memuat hasil wawancara dengan orang yang kredibilitasnya tidak jelas dan tidak kompeten di bidangnya, tanpa verifikasi atau konfirmasi ke Kedubes Inggris, Kemenkes, atau gugus tugas. 

Sulit dinalar bila Ratu Inggris yang jadi pemimpin 53 negara persemakmuran membeli obat herbal racikan orang yang pakar keherbalannya belum terbukti.

Kalaupun wartawan, redaktur atau penyunting ingin tetap memuatnya, mestinya ada di kolom opini atau blog, bukan berita.

Tangkapan layar dari kumparan.com
Tangkapan layar dari kumparan.com

Pun jurnalisme ludah terjadi saat ada media memuat pernyataan Sitti Hikmawaty bahwa berenang di kolam bareng laki-laki bisa hamil. Si wartawan menulis bahwa dia sudah ragu atas pernyataan Sitti Hikmawaty itu, tapi tetap ditulis juga hanya karena si narasumber berstatus komisioner KPAI.

Tangkapan layar dari Jakarta.tribunnews.com
Tangkapan layar dari Jakarta.tribunnews.com

Disitulah kegaduhan terjadi. Energi bangsa dihabiskan untuk menertawakan atau mendukung hal-hal yang tidak penting bagi kemajuan pola pikir dan intelektualitas bangsa.

Jurnalisme air liur paling nyata terlihat saat pemilihan presiden 2014 dan 2019. Ada media yang menunjukkan bahwa mereka pro-Jokowi, pun pro-Prabowo, jadi narasumber merekapun hanya dari pihak yang pro-Jokowi saja atau pro-Prabowo saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun