Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ghostwriter

Pekerja sektor informal. Juru ketik di emperbaca.com. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Menikmati Ketulian dan Keheningan dalam Ramai Musik Metal

29 Desember 2020   17:04 Diperbarui: 29 Desember 2020   17:33 871
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Arif, sepupu saya dari pihak ibu, tuli sejak bayi. Saya tidak tahu apa karena sejak usia satu bulan sering diajak naik pesawat PP Jakarta-Bangka atau karena penyakit, tetapi waktu lahir semua organnya normal dan telinganya dapat mendengar.

Orang tuanya akhirnya menerima kenyataan bahwa Arif memang telah tuli. Mereka berhenti melakukan upaya untuk mengembalikan pendengaran Arif diusianya yang ke-9. 

Arif dipindahkan ke sekolah Pangudi Luhur, satu-satunya SLB di Jakarta, pada waktu itu, yang mengajarkan bahasa isyarat, membaca gerak bibir sekaligus berbicara. Jadi Arif dapat berkomunikasi dengan orang normal dengan membaca gerak bibir dan dia pun dapat bersuara seperti orang normal meski lidahnya agak kaku. 

Persis seperti pemeran Daphne di serial Switch at Birth yang tayang pada 2011-2017 di televisi berbayar.

Saya bersama adik-adik, Arif, dan dua sepupu lain pernah datang bersama ke festival musik Soundrenaline dan Arif bilang dia suka. Percaya atau tidak, pada tahun-tahun berikutnya Arif datang lagi ke Soundrenaline dan belakangan Java Jazz juga dia datangi.

Di usianya sekarang yang ke-28 Arif sudah punya barbershop dan toko komputer kecil-kecilan, juga menerima reparasi laptop dan perangkat keras komputer. 

Belakangan ini dia bergabung di klub Yamaha NMax dan sering kena tegur orang tuanya karena motor NMax-nya dibongkar-pasang dan dia memilih menunggang motor Supra jadulnya untuk bepergian.

Oh ya, orang yang tidak bisa mendengar tidak mau disebut tunarungu, tetapi tuli. 

Kata tuna berarti rusak dan berkonotasi negatif. Telinga dan pendengaran mereka tidak rusak (cacat semisal bengkok atau tidak punya telinga), mereka punya telinga, hanya saja tidak dapat digunakan untuk mendengar, jadi mereka tuli bukan tunarungu.

Arif tentu berbeda dengan Ruben Stone di film The Sound of Metal.

Ruben Stone adalah drummer band heavy-metal yang kehilangan pendengarannya sebagai efek jangka panjang mengonsumsi heroin (di Indonesia populer disebut sabu). 

Ruben terpaksa tinggal, demi pacar yang membujuknya, di rumah Joe yang ada di camp khusus tuli untuk membiasakan diri menjadi orang tuli.

Saya sempat terkecoh dengan judulnya, Sound of Metal, mengira film ini sama seperti film klasik legendaris The Sounds of Music atau School of Rock, Pitch Perfect, A Star is Born, dan La La Land. Jika film-film itu full of music, maka adegan musik di Sound of Metal hanya ada di awal film saat Ruben manggung.

Selama tinggal di rumah Joe, Ruben bergabung dengan kelompok sesama tuli. Separuh dari mereka tuli karena kecelakaan dan obat-obatan terlarang, separuhnya lagi sejak lahir. 

Ruben juga bergabung dengan Sekolah Luar Biasa (SLB) tingkat SMP khusus anak tuli yang ada di camp. Interaksi yang terus-menerus dan tidak ada pilihan selain berbahasa isyarat, membuat Ruben akhirnya menguasai bahasa isyarat dan dapat bercakap-cakap dengan sesama tuli yang ada di camp tersebut.

Di Indonesia ada dua jenis bahasa isyarat yang digunakan oleh teman-teman tuli dan bisu, yakni Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) dan Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI). 

BISINDO lebih banyak digunakan oleh mereka karena lebih mudah dipelajari dan isyarat abjadnya sama dengan alfabet yang kita pakai sehari-hari. 

Pada BISINDO juga terdapat bahasa daerah, jadi orang tuli Jawa dapat berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa menggunakan isyarat tangan BISINDO. Sementara pada SIBI kosakata yang dipakai lebih baku dan hanya menggunakan satu tangan.

Bahasa isyarat yang dipelajari Ruben Stone di Sound of Metal nampaknya sejenis SIBI karena hanya menggunakan satu tangan

Ruben, alih-alih menerima hidup barunya sebagai orang tuli, selalu teringat pada kekasih dan ingin kembali menjadi penggebuk drum. 

Ruben lalu menjual caravan yang jadi tempat tinggalnya selama ini dan peralatan musiknya untuk membiayai operasi penanaman implan berbiaya 50 ribu dolar Kanada.

Dahulu orang tua Arif juga diberi pilihan oleh dokter untuk operasi implan, tetapi selain sangat mahal, juga tidak ada jaminan telinga akan dapat mendengar seperti orang normal. 

Jadi ayah Arif yang adalah adik ibu saya itu tidak mengambil pilihan operasi implan.

Implan fungsinya merekayasa stimulasi ke otak sehingga otak "memerintahkan dan memaksa" telinga untuk menangkap suara yang diterima oleh alat bantu dengar. Jadinya, suara yang diterima telinga dan diproses otak tidak sama seperti suara yang didengar oleh orang normal.

Pun demikian dengan Ruben, suara yang didengar Ruben setelah pasang implan seperti perpaduan kicauan burung dan kaset rusak yang tumpang-tindih, terutama kalau ada banyak suara yang hinggap di telinganya.

Saya kesal dengan Ruben karena mengorbankan banyak hal hanya demi mendapatkan kekasihnya kembali, padahal dia dapat tawaran dari Joe untuk mengajar di sekolah dan bekerja di camp supaya dapat penghasilan, tetapi Ruben bertekad manggung lagi bersama Louise, kekasihnya. 

Yah, namanya juga film, suka-suka penulis skenario dan sutradaranya mau bikin yang seperti apa.

Ruben lama-lama tidak tahan dengan suara-suara bising di telinganya. Dia lalu melepas alat bantu-dengarnya dan kembali merasakan keheningan, senyap, namun damai dan menghangatkan jiwa.

Separuh bagian dari film Sound of Metal memang hening, tanpa suara, tanpa dialog, tetapi keramaian masih terasa karena orang tuli saling bercengkerama dengan asyiknya.

Keheningan dalam damai itu rasanya mungkin seperti kalau kita menikmati malam tahun baru tanpa kembang api, pesta ingar-bingar, sendirian, hanya ditemani kopi dan penganan ringan lalu menulis untuk Kompasiana.

Ini keempat kalinya saya menulis resensi film yang sudah lebih dulu ditulis oleh Kompasianer lain. Tiga telah jadi Headline dan satu resensi serial juga sudah ditulis oleh Kompasianer yang berkantor di Lapangan Banteng, Fery W. 

Apa boleh buat, sama dengan mereka, saya pun ingin menulisnya karena suka nonton film.

Sayang sekali, Sound of Metal hanya dapat ditonton di aplikasi streaming Amazon Prime Video. Pengguna Indosat dapat mengaksesnya gratis selama 3o hari sebelum dikenakan biaya berlangganan Rp50 ribu per bulan. 

Dibanding Netflix dan Disney+ Hotstar, film-film di Prime Video masih sangat sedikit dan hanya beberapa yang bersubtitle Indonesia. Sound of Metal pun tidak ada subtitlenya, jadi lebih baik berlangganan streaming film lokal seperti iFlix, GenFlix, atau GoPlay untuk menemani melewati malam pergantian tahun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun