Semester genap tahun ajaran 2020/2021 akan dimulai pada Januari 2021 dan sejak ada berita bahwa pembelajaran tatap muka diizinkan mulai bulan depan, harapan orangtua yang ingin anak-anaknya sekolah lagi bersemi kembali.
Apakah semudah itu kembali ke sekolah? Di daerah-daerah terpencil dan pelosok mungkin mudah karena mobilitas penduduknya rendah dan murid perlu tatap muka dengan guru karena ketiadaan gawai dan sinyal.Â
Tapi di pulau Jawa tidak semudah seperti Bang Jago mudah cepat viral di TikTok.
Dalam sehari orang di pulau Jawa bisa pergi ke banyak tempat dan bertemu dengan banyak orang. Di sekolah anak saya saja banyak orangtua yang mengajak anak mereka ke luar kota (Jogja, Solo, Semarang, dan Jabodetabek) untuk bertemu kakek-neneknya juga sanak kerabat.Â
Selama ini mereka memang baik-baik saja, tapi siapa tahu ketika sekolah buka ada lebih banyak lagi anak-anak yang ikut orangtua mereka bepergian tanpa mengikuti protokol kesehatan?
Walaupun Kemendikbud mengizinkan sekolah buka di semua zona risiko Covid-19, namun keputusan pembukaan sekolah tergantung pada Pemda, Kanwil, dan orangtua melalui komite sekolah.
Apakah Pemda sudi kasus Covid di daerahnya bertambah gara-gara dibukanya sekolah?Â
Sudah banyak terbentuk klaster sekolah, entah karena tatap muka atau karena study tour keluar kota. Juga banyak sekolah yang buka-tutup lantaran warna zona di daerah itu berubah-ubah dan dalam lingkungan sekolah ada yang positif Corona.
Bila Pemda memutuskan membuka sekolah, berarti harus mempersiapkan kamar-kamar isolasi di rumah sakit sekaligus dengan tenaga medis dan tenaga kesehatannya, untuk jaga-jaga andai terjadi kasus baru dari klaster sekolah yang dibuka.
Jadi diizinkannya pembelajaran tatap muka tidak serta merta dapat membuat kita mengirim anak-anak ke sekolah saat libur semester ganjil berakhir. Banyak yang harus dipersiapkan termasuk sekolah.
Sekolah harus menambah tempat cuci tangan, membeli sabun cair, thermo gun, dan menyediakan desinfektan. Semua itu harus dibeli pakai duit.
Apakah orang tua bersedia dimintai iuran untuk memenuhi kebutuhan protokol kesehatan itu?
Adik saya, yang tinggal di kota besar dan berkantong (agak) tebal saja minta diskon SPP di sekolah anaknya sampai 50 persen.Â
Penurunan uang sekolah dari sejuta menjadi Rp800rb-an dirasanya tidak sepadan karena sekolah "gak ngapa-ngapain" selama sekolah tutup selain memberi tugas dan tugas.Â
Apalagi yang di tinggal di kota kecil dan kantongnya kempes, mungkin mau iuran, tapi itu karena tidak ada pilihan lain.
Sekolah negeri dibolehkan bicara kepada komite sekolah bagaimana memenuhi kebutuhan sekolah yang tidak bisa dicukupi dari dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Komite nanti akan menghimpun dana dari para wali murid.
Kalau orangtuanya keberatan mengumpulkan dana, lalu bagaimana sekolah dapat memenuhi protokol kesehatan?
Andai mau membayar pun rasanya tidak sepadan antara risiko dengan manfaatnya.
Kita memang tidak ke mana-mana, di rumah saja selama hampir setahun. Tetapi, siapa bisa menjamin seluruh peserta didik dan orangtuanya, juga guru-gurunya mematuhi protokol kesehatan selama bepergian?
Risiko terbentuknya klaster sekolah sudah pasti besar meski ketika buka nanti hanya terisi sedikit murid dan guru dari total yang ada di sekolah.
Kalau lebih banyak risikonya maka pembukaan sekolah tidak perlu buru-buru.
Dampingi anak dan remaja Anda belajar di rumah sampai mayoritas rakyat sudah divaksin.Â
Kalau mereka mau, tawarkan belajar musik, vokal, beladiri, atau kesenian secara online atau melalui guru privat. Berada di rumah tidak berarti hanya rebahan saja melakukan apa-apa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H