Sementara cannabidiol dapat mengurangi peradangan tanpa menjadi psikoaktif.
Mungkin karena kandungan THC yang tinggi itu, ganja asal Gayo Lues dan Lamteuba, Aceh, dipesan banyak negara di dunia karena kualitasnya nomor satu.Â
Banyaknya pesanan terhadap "tembakau hijau" ini mungkin yang membuat ladang ganja di Aceh ada lagi ada lagi meski berulangkali digerebek polisi dan BNN. Bukan untuk obat, tapi rekreasi (bersenang-senang) alias gele, giting, dan sebagainya.
Andai Indonesia melegalkan ganja meski hanya untuk keperluan medis, mudaratnya lebih besar ketimbang manfaatnya.
Selagi digolongkan sebagai narkotika golongan 1 saja ganja mudah didapat dan banyak sekali anak muda yang mengisapnya.Â
Data BNN pada 2019 menyebutkan 63 persen dari 3,6 juta pengguna narkoba adalah pemakai ganja.
Kalau dilegalkan siapa bisa menjamin ganja untuk keperluan medis tidak akan disalahgunakan?
Indonesia ini subur, penuh keanekaragaman hayati, masih banyak tanaman lain yang berkhasiat untuk kesehatan.Â
Mengapalah repot-repot mengusahakan ganja sebagai obat kalau jelas-jelas punya efek samping berbahaya bagi tubuh? Apalagi yang berkhasiat hanya cannabidiolnya saja yang kandungannyapun sedikit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H