Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ghostwriter

Pekerja sektor informal. Juru ketik di emperbaca.com. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Karantina Pilih Kasih

6 Oktober 2020   11:38 Diperbarui: 6 Oktober 2020   12:45 920
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Minggu lalu ada warga dusun kami berkunjung ke rumah kakaknya di desa tetangga yang berjarak enam kilometer.

Si bapak menginap semalam di rumah kakaknya untuk temu kangen karena sang kakak baru saja pulang merantau dari Karawang dan ingin menghabiskan hari tua di kampung halaman.

Sepulang si bapak ke dusun kami, segera ada berita bahwa si bapak sedang diawasi oleh Puskesmas karena berstatus OTG (orang tanpa gejala). 

Sontak ketua RT, yang sangat disayangkan tidak mengecek kebenarannya dahulu, langsung memagari rumah si bapak dengan patok-patok bambu. Saat si bapak ingin ke sawah mengambil sayuran sisa panen, tubuhnya langsung diguyur Wipol oleh ketua RT sampai kuyub. Jelas saja di bapak tidak jadi ke sawah. Hilanglah kesempatan dapat sisa sayuran untuk dimakan.

Si bapak memang orang miskin, sudah jarang melakoni pekerjaan jadi buruh sawah karena sudah tua dan tidak kuat. Jadi sehari-hari hanya kerja serabutan dan kalau ada yang panen dia mengambil sisa panenan untuk dimakan.

Ketua RT mematok sekeliling rumahnya dengan bambu, tanpa akses keluar-masuk. Si bapak dan keluarganya terkurung di rumah. 

Lebih kesal lagi, keluarga si bapak dikarantina paksa tapi tidak diberi pasokan makanan. Kepala dusunpun diam saja, katanya karantina dan pasokan makanan itu diluar kewenangannya. Kadus wedhus!

Dahulu sewaktu anak, menantu, dan cucu Pak "ustadz" mudik dari Jakarta Lebaran lalu, tidak ada yang mempermasalahkan. Jangankan karantina mandiri, malahan serombongan ikut salat ied. Padahal ada spanduk besar di masjid bertuliskan bahwa masjid tidak menerima jamaah dari luar dusun.

Pun demikian ketika anak-anak dan cucu pemilik toko material datang dari Kota Depok dan Tangerang Selatan untuk menikmati libur kenaikan kelas. Tidak satupun dari mereka melakukan karantina mandiri di rumah, padahal datang dari zona merah.

Begitu pun dengan TKI tetangga RT yang pulang dari Malaysia, meski diminta karantina mandiri oleh Puskesmas, tapi orangnya tetap keluyuran dan main kartu tiap malam di pos ronda.

Kemudian yang terjadi pada keluarga si bapak membuat mangkel Mbah Mijah, kerabat si bapak yang masih sedusun dengan kami.

Di hari ketiga Mbah Mijah menjebol patok bambu guna memberikan makanan dan semua keperluan keluarga si bapak, lalu datang ke Puskesmas dan kecamatan untuk mencari tahu apa benar si bapak masuk daftar OTG.

Ternyata tidak ada.

Jadi isu OTG dan karantina mandiri itu hanya fitnah yang disebarkan oleh orang (yang diduga) dari RT lain.

Pihak Puskesmas dan kecamatan tidak pernah memerintahkan si bapak untuk karantina mandiri. Ketua RT yang berlagak seperti anggota gugus tugas itu menolak minta maaf karena, katanya, hanya menjalankan protokol kesehatan.

Kepala dusun diam saja padahal ada kegaduhan di dusunnya. Orang-orang yang diduga menyebar fitnah juga diam pura-pura tidak terjadi sesuatu.

Protokol kesehatan hanya diterapkan pada orang miskin dan tidak berani diterapkan pada orang kaya.

Sekarang si bapak dan keluarganya memutuskan untuk meneruskan isolasi mandiri untuk menghindari "kegaduhan" di dusun. Makan-minum, dan kebutuhan lain dipasok oleh kerabatnya dan warga yang punya welas asih.

Si bapak orang kecil, hanya ingin ketenangan, jadi dia menerima saja diperlakukan demikian. Coba kalau saya atau keluarga saya yang diperlakukan seperti itu pasti sudah saya tuntut ke pengadilan. Hemm~.

Jangan ada kegaduhan saat hadapi Corona. Kegaduhan bisa memperlambat kita menyelesaikan hal yang harusnya bisa cepat selesai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun