Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ghostwriter

Juru ketik di emperbaca.com. Penulis generalis. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Klaster Sekolah dan Merdeka Belajar

16 Agustus 2020   10:40 Diperbarui: 16 Agustus 2020   10:37 979
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Merdeka belajar: mediaindonesia.com Gambar: Canva/yanahaudy0

Indonesia sedang merayakan hari kemerdekaannya yang ke-75 dan kalau boleh mengejawantahkan kebijakan Mas Menteri Nadiem yaitu Merdeka Belajar, maka sekaranglah saat yang pas untuk mempraktikkan Merdeka Belajar itu. 

Sekolah yang mayoritas siswanya tak punya ponsel harus merdeka dari belajar online. Mereka bisa belajar dari siaran TVRI setiap pagi atau radio. Kalau tidak bisa juga, guru yang akan mendatangi mereka. 

Sudah ada kurikulum darurat yang ditujukan untuk mengurangi beban siswa dan guru sehingga sekolah dan guru boleh melakukan penyederhanaan kurikulum secara mandiri. 

Siswa dan guru juga harus merdeka dari belajar tatap muka yang membuat mereka berisiko tinggi tertular coronavirus. Kalau sekolah jadi klaster Covid-19 maka anak-anak belum merdeka dari hak mereka untuk sehat. 

Tapi bagaimana dengan hak belajar dan mendapat pengajaran? Pendidikan itu penting demi masa depan anak dan bangsa kita. Maka itu Kemendikbud mengeluarkan kurikulum darurat. 

Selama pandemi orang tua mengeluh karena harus jadi guru dadakan, guru mengeluh karena materi tidak tersampaikan maksimal kalau mengajarnya secara online. Dan anak, yang awal mulanya bisa menyesuaikan dengan model belajar di rumah, lama-lama ikut stres. 

Padahal anak-anak SD sampai SMA ini digital native. Mereka lahir di era teknologi dan secara alami akan menemukan cara mereka sendiri dalam mempelajari materi sekolah menggunakan teknologi yang ada. 

Berapa anak SD yang sudah mahir main TikTok dan jadi YouTuber sementara emak-bapaknya mengerti ponsel hanya sebatas membalas WhatsApp. 

Anak-anak di pedesaan dan di pelosok juga bisa belajar menggunakan bahan-bahan dari alam, bahkan dari alam itu sendiri. Tidak perlu ikut yang di kota belajar dari YouTube atau Ruangguru. 

Kata Mas Menteri sekolah di zona kuning dan hijau diizinkan buka karena mempertimbangkan psikologis anak yang stres karena diomeli orang tua, tidak bisa bergaul dengan teman sekolah, dan susah mengerti bila belajar dari YouTube. 

Tapi apakah kita mau anak-anak kita jadi korban karena sekolah pun jadi klaster Corona? 

Kumparan.com mengutip data dari @LaporCovid19 menyebut bahwa sampai saat ini ada enam klaster sekolah, yaitu: 

  1. Klaster sekolah Tulungagung. Murid 9 tahun yang tertular dari ayahnya telah menulari 5 temannya dan 2 guru. 
  2. Klaster sekolah Kalimantan Barat. Empat belas siswa dan 8 guru di Kalbar terkonfirmasi positif Covid-19. Mereka berasal dari SMA 1 Ketapang, SMA 1 Ngabang, SMA 1 Pontianak, SMPN 1 Pontianak, SMAN 2 Pontianak, SMAN 3 Pontianak. 
  3. Klaster Sekolah di Tegal Siswa SD dari Kecamatan Pangkah, Tegal, positif corona tertular dari kakeknya. Ia sempat masuk sekolah. Akibatnya guru dan teman sekelasnya harus menjalani tes swab. 
  4. Klaster Sekolah di Cilegon.
    Seorang siswa SMPN 7 Cilegon positif COVID-19 di masa uji coba KBM tatap muka di 53 sekolah yang dihelat mulai 3 Agustus 2020.
    Pemda langsung membatalkan kebijakan sekolah tatap muka pada 5 Agustus.
  5. Klaster Sekolah Sumedang
    Pelajar (6 tahun) di Kecamatan Situraja & pelajar (9 tahun) dari Kecamatan Sumedang Utara tertular corona dari pedagang Pasar Situraja. Keduanya tertular saat perjalanan ke/dari sekolah.
  6. Klaster Pesantren Pati Dua puluh enam santri pondok pesantren di Kajen, Kecamatan Margoyoso, Pati dinyatakan positif COVID-19. 

Sebenarnya anak bisa dihindarkan dari serangan stres saat belajar di rumah andai orang tua dan guru tidak memaksakan kehendak kepada anak-anak. Anak sekolah yang berusia remaja biasanya makin dipaksa makin memberontak. 

Anak-anak kita bisa melakukan kreativitasnya sendiri dalam belajar, asal didampingi dan didukung oleh orang tua atau wali mereka. Didampingi tidak berarti dipelototi tiap jam dan dipaksa ini-itu. Didukung bukan berarti dimanja memberi semua yang mereka mau. 

Itulah inti dari merdeka belajar. Itu pun maksud dari kurikulum darurat. 

Apalagi USBN (Ujian Nasional Berstandar Nasional) sudah dihapus, diganti dengan ujian sekolah. Berarti sekolah sudah tidak dikejar oleh kewajiban punya lulusan dengan nilai kelulusan yang sempurna secara nasional.

Jika stakeholders sekolah yang ada di zona hijau dan kuning sama-sama sudah tidak tahan untuk kembali ke sekolah, maka ikuti standar UNICEF untuk sekolah yang sudah buka lagi: 

  • Menyusun model pembuatan keputusan kapan sekolah bisa ditutup dan dibuka kembali. Meningkatkan kualitas dan kuantitas pembersihan sekolah. 
  • Meningkatkan penggunaan pembersih tangan dan masker kain. 
  • Meningkatkan investasi di bidang pembelajaran jarak jauh untuk mempersiapkan diri jika nantinya sekolah perlu ditutup kembali. 
  • Mempertimbangkan untuk menunda ujian dan jika memungkinkan seluruh siswa boleh naik kelas. 
  • Mengembangkan metode pembelajaran inovatif misalnya metode belajar online. Menginformasikan segala hal mengenai pandemi virus corona kepada siswa secara jelas, akurat, dan mudah dipahami. 
  • Hindari siswa dari ketakutan yang berlebihan. 
  • Prioritaskan dukungan kepada anak-anak dengan kebutuhan khusus. 
  • Pastikan materi pembelajaran dapat diakses oleh siswa dengan keterbatasan. 

Sementara itu, setali tiga uang, Kemenkes juga memberikan protokol berupa: ketersediaan sarana sanitasi dan kebersihan, yakni toilet bersih, sarana cuci tangan dengan air mengalir menggunakan sabun atau cairan pembersih tangan, dan disinfektan. 

Jadi sekolah tidak asal buka. Menteri Nadiem juga telah menginstruksikan jika sekolah buka maka kantin sekolah harus tetap tutup dan kegiatan ekstrakurikuler ditiadakan. Sekolah hanya akan buka untuk kegiatan belajar-mengajar lalu pulang. 

Buka tidaknya sekolah yang utama harus memikirkan kepentingan anak, bukan emosi sesaat orang tua yang lelah anaknya membuat kacau di rumah terus, atau guru-guru yang pusing mengejar materi kurikulum yang sebenarnya sudah tidak perlu dikejar lagi. 

Anak-anak bisa merdeka sekaligus dalam sehat dan belajar tapi mereka perlu bantuan kita untuk mendampingi, membimbing, dan memandu dengan kesabaran dan kasih sayang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun