Status zona kuning berarti suatu daerah (kabupaten/kota/kecamatan) punya beberapa kasus Covid-19 dengan penularan lokal.Â
Lebih singkat saya simpulkan jika satu kecamatan punya 1 PDP (pasien dalam pemantauan) tapi tidak ada pasien positif, maka kecamatan tersebut berada di zona kuning. Bila kecamatan itu punya tidak punya PDP (orang dalam pemantauan) namun punya 1 pasien positif, maka langsung masuk zona oranye.
Sedikit ya, hanya satu pasien, hanya satu PDP. Tapi dari yang satu itu bisa menyebar kemana-mana dan bila kena orang yang rentan akan sangat berisiko bagi orang tersebut untuk wafat karena Corona.
Anak-anak termasuk kelompok yang rentan itu. Dokter Anak Indonesia (IDAI) sudah memperingatkan bahwa tingkat kematian anak-anak tinggi karena sejak sebelum pandemi anak-anak Indonesia sudah punya banyak masalah kesehatan.
Kalau begitu apakah bijak mengizinkan sekolah yang ada di zona kuning dan hijau untuk kembali menggelar kegiatan belajar-mengajar di kelas?
Sekolah harus buka karena semua tempat saja sudah dibuka, mosok sekolah belum? Kan sudah ada kurikulum darurat. Lagipula anak-anak sudah jenuh di rumah terus, saya pun lelah mendampingi anak mengerjakan PR. Tiap hari PR setumpuk, belum lagi saya harus mengurus anak lainnya, mengurus tetek-bengek rumah tangga, dan mengurus bapaknya anak-anak juga. Heuw!
Kurikulum darurat yang dikeluarkan Kemendikbud memberi opsi kepada sekolah untuk memilih:
- Tetap menggunakan kurikulum nasional 2013.
- Menggunakan kurikulum darurat (dalam kondisi khusus)
- Melakukan penyederhanaan kurikulum secara mandiri.
Menteri Nadiem mengatakan bahwa siswa tidak dibebani tuntutan menyelesaikan seluruh capaian kurikulum untuk kenaikan kelas dan kelulusan.
Untuk sekolah di zona kuning dan hijau yang ada di pedesaan dan pelosok dimana internet susah dijangkau dan ponsel menjadi barang mewah, pembukaan sekolah mungkin mendesak dilakukan karena hak belajar anak tidak terpenuhi.Â
Namun di perkotaan, dimana mobilitas penduduknya sangat tinggi, kurikulum darurat sepertinya sudah mengakomodasi untuk tidak memaksa sekolah dibuka kembali, apalagi jika guru, siswa, dan orang tua dalam satu sekolah tersebut sudah mampu melaksanakan PJJ (pembelajaran jarak jauh).
Tidak dipungkiri PJJ sangat tidak memuaskan bagi siapapun. Yang tidak punya masalah dengan PJJ hanya anak dan orang tua yang sedari awal memilih untuk homeschooling.
Tetapi, siapa yang bisa menjamin sekolah tidak akan jadi klaster baru Corona? Lalu andai anak kita tertular apakah kita lalu menyalahkan pemerintah yang membuka sekolah? Atau menyalahkan Tuhan karena membiarkan virus ini hidup di muka bumi?
Mengizinkan anak kembali sekolah harus dipikirkan dari segala sisi, bukan hanya dari sisi tidak enaknya PJJ. Pembelajaran jarak jauh tidak sesengsara itu kalau kita mau mengelola waktu, emosi, dan kenyamanan di rumah.