Saya benar-benar harus menulis dari nol seperti membuat novel saya sendiri. Setahun kemudian ketika bukunya sudah diterbitkan penerbit mayor, ibu itu memberi "tanda terima kasih" Rp 2 juta untuk saya.
Selain bekerja sendiri secara lepas, ghostwriter juga ada yang menulis untuk penerbit. Namanya penerbit sudah pasti harus berkesinambungan menerbitkan buku.
Jika stok naskah kiriman dari para penulis dianggap kurang, maka penerbit menggunakan jasa ghostwriter untuk menulis genre tertentu. Buku karya ghostwriter itu akan diterbitkan memakai nama penulis yang sudah populer.
Ya, nama ghostwriter memang tidak akan tercantum dalam buku. Nama yang tercantum adalah nama orang yang menyewa jasa ghostwriter tersebut.
Ada semacam kode etik untuk ghostwriter. Mereka dilarang mengungkap siapa saja yang pernah memakai jasa mereka dan tidak boleh mengungkap judul-judul buku yang telah lahir dari tangan mereka. Yah, namanya juga penulis bayangan.
Soal penghasilan, bayaran ghostwriter memang (sedikit) lebih besar daripada jika kita menulis buku sendiri lalu menunggu royalti. Royalti datang 6 bulan sekali dan dipotong pajak dua kali karena dianggap pendapatan pasif. Honor ghostwriter dipotong pajak hanya ketika kita melapor di SPT.
Lain halnya jika kita penulis best-seller. Penulis best-seller sudah pasti punya penghasilan besar dan buku terbarunya selalu ditunggu penerbit.
Ada ghostwriter yang mematok Rp 20 juta-40 juta untuk sebuah buku, tapi itu karena mereka membentuk tim yang terdiri dari penulis, editor, dan layouter, dan jaminan buku pasti diterbitkan oleh penerbit mayor.
Jika mencari kepuasan batin, menulis buku dengan nama sendiri tentu lebih dicari. Ada rasa haru dan bangga bahwa kita telah menciptakan sebuah karya yang orang lain belum tentu bisa. Dan kita pun termotivasi untuk menulis lebih banyak buku lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H