Dalam Film Cahaya Dari Timur: Beta Maluku ini Glenn Fredly menjadi produser sekaligus aktor bernama Sofyan. Sofyan bekerja di Jakarta dan kehadirannya ke Tulehu bak malaikat penolong.Â
Sofyanlah yang mengenalkan tim sepakbola yang dilatih Sani ke kejuaraan John Mailoa Cup. Sofyan pula yang memfasilitasi tim asuhan Sani ke Jakarta mengikuti Indonesia Cup.Â
Sofyan pula yang menasehati Sani saat dia hendak pulang ke Tulehu meninggalkan timnya untuk menyusul istrinya yang sedang dalam perjalanan ke Kota Ambon. Sofyan jugalah yang menelpon orang di Tulehu untuk memberi "siaran langsung" adu penalti di final Indonesia Cup.Â
Film ini berbahasa Maluku dan semua pemainnya beraksen Maluku, sementara Glenn, betapapun dia berusaha supaya ke-Maluku-maluku-an, terlihat bahwa lidahnya kaku berlogat Maluku. Maklum saja, mendiang Glenn lahir dan besar di Jakarta. Diapun bukan aktor kawakan seperti Chicco Jericho yang memerankan tokoh Sani. Kehadiran Glenn (sebagai Sofyan) dalam film ini jadi terasa "paling beda".Â
Lalu siapa itu Sani? Tokoh utama film ini, tentu. Sani Tawainella adalah lulusan sekolah atlet Ragunan (di Jaksel) dan jebolan Pelatnas Junior PSSI.Â
Film ini diangkat dari kisah hidup dirinya yang menyatukan remaja Kristen dan Islam dalam satu tim dan menjadi juara nasional U-15 tahun 2006. Sani Tawainella juga mendapat penghargaan sebagai Tokoh Inspirator Olahraga dari Kemenpora tahun 2017.Â
Resensi film ini saya tulis untuk memperingati tujuh hari meninggalnya Glenn Fredly. Orang Jawa biasa memperingati kematian seseorang dengan menggelar doa-doa (tahlil) pada hari ke-7, 40, 100, dan 1000 paska meninggalnya orang itu. Menonton film ini adalah satu cara mengenang dan memperingati kematian salah satu musisi hebat tanah air.Â
Film Cahaya Dari Timur: Beta Maluku berlatarbelakang konflik berdarah antara Kristen dan Islam yang terjadi tahun 1999-2002 di Ambon.Â
Alasan Sani melatih sepakbola supaya anak-anak tidak ikut kerusuhan. Ketika tiang listrik dipukul tanda ada kerusuhan, Sani melarang anak-anak Tulehu lari ke perbatasan guna berperang. Dia mengatakan anak-anak harus disiplin berlatih sepakbola, dan disiplin itu berarti tidak ikut kerusuhan.Â
Ini memang bukan film baru karena dirilis tahun 2014. Meski banyak menjadi nominasi pada ajang perfilman dan meraih penghargaan, film ini hanya meraih 250.000 penonton bioskop.Â
Salah satu yang banyak dikeluhkan seniman film adalah pengusaha bioskop cepat-cepat menurunkan layar bagi film-film Indonesia berkualitas karena ingin digantikan dengan film Holywood.Â
Anda bisa menonton film Cahaya Dari Timur: Beta Maluku ini di Netflix, Hooq, YouTube, atau Cinemakeren21.Â
Awal mula Sani Tawainella melatih tim Maluku hingga menjadi juara nasional adalah ketika Yosef datang dan meminta Sani menjadi pelatih di SMK Passo yang merupakan wilayah Kristen. Sani langsung menerimanya.Â
Adegan canggung dan lucu terjadi (menurut saya) ketika Yosef menghadap kepala sekolah SMK Passo dengan menyodorkan nama Sani Tawainella untuk melatih klub bola di SMK itu. "Apa kata orang tua siswa kalau kita punya pelatih muslim?!" kata kepala sekolah.Â
"Sekolah kita akan jadi juara dan satu-satunya sekolah yang punya pelatih muslim, itu bagus buat perdamaian, Bapak," jawab Yosef.Â
Dan ternyata di John Mailoa Cup, Passo kalah telak dari Tulehu Putra. Tulehu Putra adalah tim yang selama lima tahun dilatih oleh Sani supaya anak-anak Tulehu tak ikut kerusuhan, lalu diambil alih Rafi, sahabat Sani yang mendepak Sani dari Tulehu Putra sebelum Sani melatih Passo.Â
Sofyan kemudian datang dan memberi tahu akan ada kejuaraan U-15 Indonesia Cup di Jakarta dan Maluku hanya bisa punya satu tim. Sani, yang ditunjuk oleh Bapak Raja dan John Mailoa menjadi pelatih kepala, melebur tim Passo dan Tulehu Putra untuk mewakili Maluku di kejuaraan itu.Â
Langkah ke Jakarta tidak mudah karena Sani dan Yosef yang menjadi asisten pelatih, hanya diberi sedikit uang jatah dari PSSI untuk biaya ke Jakarta. Jemaat gereja dan warga muslim berbondong-bondong menyumbangkan uang mereka untuk tim Maluku. Tapi masih kurang. Maka Sani menjual dua kambingnya untuk menutupi ongkos perjalanan. Istri Sani marah besar karena kambing itu dipelihara untuk biaya masuk sekolah Sabila, anak mereka, kelak.
Masalah muncul lagi ketika satu anggota tim bernama Salembe tidak bisa menerima saat tahu bahwa rekan satu timnya dari Passo ternyata anak seorang polisi. Dalam anggapannya semua polisi itu jahat karena peluru polisi saat kerusuhan membuat bapaknya mati. Sejak itu Salembe kerap tidak akur dengan rekannya dari Passo.Â
Haru-biru tentang indahnya perdamaian dan persahabatan puncaknya terjadi kala Bapak Raja datang ke gereja di Passo minta izin supaya dibolehkan menonton televisi gereja yang menyiarkan live pertandingan final Maluku vs DKI. Para jemaat saling pandang dan mengernyitkan dahi melihat orang-orang muslim bergerombol di depan gereja mereka. Pendeta mempersilahkan mereka masuk.Â
Sepakbola membuat orang Islam dan Kristen melupakan luka lama dan kembali berangkulan setiap tim Maluku membuat gol. Pendeta dan Bapak Raja kemudian bergantian mengumumkan skor adu penalti.Â
Adu penalti diperdengarkan lewat telepon dari Tulehu yang berasal dari Sofyan karena televisi tiba-tiba berhenti menyiarkan pertandingan sepakbola guna diganti siaran lain.Â
Film berdurasi 2 jam 10 menit ini sangat layak ditonton semua usia (kecuali anak-anak, karena anak-anak belum betah menonton film berdurasi lama) karena sarat perjuangan hidup, kesabaran, persaudaraan, dan prestasi yang layak ditiru siapa saja.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI