Dalam pikiranku, sarapan lebih istimewa daripada saat-saat lain, bagai ritual yang perlu upaya ekstra, dinikmati sebisanya dalam ketergesaan untuk memulai aktivitas - merayakan hari baru.
Dan di seputar Nusantara, sarapan dengan ketan sejamak rumput di lapangan bola (aduh, maksa ya? Apa dong analoginya? Ini kan lawan idiom: "mencari jarum di jerami" alias susah dicari... hehehe...).
Dari Aceh aku diceritai oleh kawan-kawanku pedagang kopi bahwa lazimnya di daerah mereka, menyeruput kopi pagi hari selalu ditemani pulut. Di Makasar, menu sarapan bisa songkolo, ketan hitam ditaburi serundeng dan teri plus sepotong telur asin. Di kota2 Jawa, kita sarapan ketan disirami juruh alias gula jawa cair. Di Sumbawa, ketan kuning dimakan robekan daging panjang-panjang berbumbu. Di kota-kota Melayu, ketan disebut pulut, berwarna kuning dinikmati dengan bermacam lauk buat makan pagi. Di Padang, ketan sering disantap dengan pisgor panas, atau sarikayo yang gurih legit. (Begitu menjalin eratnya ketan dengan kebiasaan sarapan di Padang, sampai-sampai (kudengar) dijadikan ungkapan: "Seperti sarapan ketan tanpa kelapa”. Artinya seperti paralelnya di Inggris: 'bangun di sisi ranjang yang salah' (wake up on the wrong side of the bed) atau 'hari rambut jelek' (bad hair day). Kurang lebih bermakna: bangun pagi dan semuanya jadi salah, tidak seperti yang diharapkan. Gitu deh.)
Ketan juga tampil dalam beragam bentuk. Dalam loyang cetakan menjadi dasar untuk ditumpangi adonan telur, gula dan tepung beras warna-warni menjadi berbagai jenis talam (di kampung ayahku, Banjarmasin disebut wadai). Dalam bumbung bambu menjadi lemang. Dililit daun kelapa menjadi lepat, dibentuk segitiga menjadi lupis. Dipotong bentuk jajaran genjang diamond menjadi wajik. Difermentasi menjadi tape ketan. Madu mongso yang sering kutemui di lebaran di rumah Bupuh saat aku masih anak, terbuat tape ketan hitam yang direbus dengan santan, gula jawa dan air tapi sampai kalis, lalu dibungkus kertas minyak seperti permen.
Namun padu padan ketan aku kenal pertama kali lewat Ayahku yang asli Banjarmasin. Almarhum memperkenalkanku kepada ketan putih kukus dengan macam-macam variasinya: dengan rendang, abon ikan, kolak pisang duren, daging buah duren, atau bahkan sekedar ditabur kelapa. Ketan khas ayah yang paling sering hadir di rumah masa kecilku sederhana sekali, hanya berteman telur asin.
♥♥♥
Tempat favoritku untuk mengobati kangen ketan ada beberapa: ketan hitam bersanding kolak pisang ala Bugis yang kental santannya dan merahnya gula meresap ke pori-pori pisang (dalam gambar sebelah kanan tengah). Ini bisa kubeli di Warung Dessaku Delima, Passer Koeningan di Pasar Festival. Ketan putih kukus disiram serikaya yang padat lembut kubeli di Bopet Mini Pasar Benhil (gambar kanan paling bawah). Boleh juga setiap suap ketan diselingi gigitan pisang goreng kipas panas-panas. Terkadang aku sarapan ketan siram susu di warung jalan Garuda ujung di Kemayoran yang buka 24 jam. Tapi pagi ini aku sarapan ketan di rumah.
Ketan kukusnya boleh dapat kiriman. Senang betul, kalau bikin sendiri malas, dan mau beli polosan jarang yang jual. Ketan kupadu dengan mangga dan kusiram santan. Aneh? Ya memang betul aneh. Perkenalanku dengan hidangan ini tak sengaja. Aku sedang berjalan mengarungi ratusan kedai luar ruangan di bawah bintang sepanjang jalan Alor di Kuala Lumpur suatu malam. Susah menjatuhkan pilihan di antara segitu banyak tawaran menggiurkan. Tapi waktu bertubrukan dengan tulisan “Mango and Sticky Rice’ di satu kedai Thailand, memilih jadi mudah. Ternyata rasanya unik.
Yang kubuat pagi ini bahkan jauh lebih enak. Mungkin karena mangganya masak pohon, ketannya dimasak sempurna, dan santannya kental, segar dan legit. Mau mencoba?
KETAN MANGGA SIRAM SANTAN
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~