(dari seri "My Love Affair with Food")
Rumah eyangku di jalan Diponegoro Surabaya berbentuk gerbong kereta api di ingatanku. Walaupun terletak di jalan besar, rumah Pakpuh dan Bupuh (begitu aku memanggil eyang2ku, singkatan dari bapak sepuh dan ibu sepuh) - orang tua ibuku ini, tidak terlalu luas, menyempit ke belakang. Di samping rumah ada gang ke arah perkampungan di belakang. Tahun tujuh-puluhan tersebut, gang banyak diisi oleh pedagang pikulan, pengemudi becak, rumah sementara bagi mereka yang merantau dari desa mengadu nasib di kota.
Kami selalu tidur di kamar utama, terletak paling belakang, yang berbau khas kayu dan kertas tua (aku masih ingat ranjang besar besi dengan tiang-tiang di keempat pojok untuk menggantung kelambu) serta berpintu yang membuka ke belakang, langsung menghadap samping rumah kayu mbah Hadi, tetangga kami. Suami isteri sepuh ini dekat sekali dengan kami. Aku lupa mbah Hadi yang perempuan mengerjakan apa, yang jelas kami berlangganan becak dengan Mbah Hadi yang lelaki.
Saat liburan dari Sumantrah  (begitu kedengarannya dulu para teman-teman kami di gang ini menyebut pulau seberang), dan menginap di rumah Pakpuh/Bupuh yang teringat olehku adalah ketukan pagi-pagi di pintu tadi. Ketika dibuka, selalu ada pemandangan yang kutunggu, MBah Hadi perempuan dengan ketan kukus di tangannya, masih mengepul-ngepul bertabur parutan kelapa remaja dan kilauan butiran gula di atasnya.
Sedini itu aku ter-convert menjadi pengagum ketan.
♥♥♥
Ketan yang saudara kandung beras di tanah lain disebut sebagai beras lengket (sticky rice), beras bergluten (glutinuous rice), beras manis(sweet rice), beras berlilin (waxy rice), atau beras mutiara (pearl rice). Sisa2 kuliahku dulu di teknologi pangan (yang sayup2 teringat) menginformasiku bahwa, pati atau karbohidrat dibentuk oleh si kembar amilosa dan amilopektin. Yang pertama memberi fitur keras dan amilopektin menjadikannya kelat, lengket. Ketan beramilosa kurang dari 1 persen, sementara beramilopektin tinggi. Makanya saling melekat. Kabarnya, ini juga yang menyebabkan ketan lebih membuat tahan kenyang, mengisi porsi perut lebih besar.
Setidaknya itu yang dipercayai oleh orang-orang Laos (dan Thailand utara) sehingga memilih ketan sebagai staple food, makanan pokok. Aku baru tahu tentang ini saat menonton program teve National Geography berjudul Food School, mengenai perjalanan mengunjungi sekolah-sekolah masak di berbagai negara, mempelajari masakan lokal. Hostnya, Ruth Reichl,  eks editor majalah Gourmet (sudah almarhum, majalahnya lho, bukan orangnya)  dalam episode di Laos menunjukkan betapa di negeri ini ketan dimakan dengan sayur, kuah kari, daging, dsb., layaknya nasi di tempat lain.
♥♥♥
Aku bersyukur makanan pokok kita bukan ketan. Memasak ketan tidak sesederhana mencuci beras, mencemplungkannya ke rice cooker dan tinggal 'cetek' menyalakannya. Ketan seperti saudara beras yang manja, perlu perlakuan hati-hati. Direndam, cuci, rendam lagi, baru dikukus. Waah, kesuwen rek...
Dan karena tidak ditemui setiap hari, aku mengasosiasikan ketan dengan saat istimewa, saat ada sesuatu untuk dirayakan. Seperti sarapan.