Mohon tunggu...
Yana Arsyadi
Yana Arsyadi Mohon Tunggu... -

konsultan, penulis, pengamat kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Jika Meja Mermer Bisa Bicara ~Kedai Kopi Apek, Jalan Hindu, Medan~

15 September 2012   17:51 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:25 846
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13477939031914497780

Kalimat –kalimat yang kuronce untuk memulai catatan impresiku tentang Kedai Kopi Apek, terkatung menggantung. Berkali-kali. Tak puas aku, rasanya tak cukup bobot untuk menggambarkan tempat yang sudah hampir menjadi institusi di kalangan masyarakat Medan, a legend.

Bahwa Kedai Kopi Apek ini sudah jadi legenda, baru kuketahui belakangan lewat riset kecil di internet dan koran-koran. (Diperkirakan berdiri sejak awal 1900-an, dikelola oleh ayah sang Apek, the patriach, bernama Thia A Kee dan istrinya Khi Lang Kiao, yang datang dari daratan Tiongkok. Dan karena ini berada di daerah perniagaan Kesawan, maka pengunjungnya kebanyakan para pegawai perkebunan zaman Belanda. Salah dua di antaranya adalah perusahaan perkebunan dan perdagangan karet Harisson Crosfield yang sudah berkiprah di Sumatera bahkan di penghujung abad 19, dan London Sumatera yg akhirnya mengakuisisi aset Harrison Crosfield hampir seratus tahun kemudian. Konon tempat ini juga banyak didatangi oleh wisatawan dari negeri tetangga. Begitu bekennya tempat ini, Kompas menulis tentang Apek tanggal 8 Juni 2008. Saat itu Thaia Tjo Lie, begitu nama aslinya, berusia 86 tahun. Begitu kurang lebih hasilku meriset kedai ini.)

Namun ketika kusamperi pertama kali, susah kubayangkan kelegendarisaannya. Bangunan yang terletak di perpotongan jalan Hindu dan Perdana, serta di seberang Pasar Hindu ini, terkesan tak terawat dan terlupakan.

Ketika kufoto cukup berjarak dari luar, kekokohan dan profil gedung memang masih mempesona. Kusen serta daun pintu dan jendela berwarna hijau “warung tegal” yang jadi trend di tahun2 doeloe. Begitu kumasuki, sedikit lebih rendah dari jalan dengan atap yang tak terlalu tinggi, terasa bahwa diriku menapaki teritori istimewa. Hawanya beda. Sepintas kedai ini seperti berusaha terlalu keras untuk terlihat kumuh, lusuh, tak terurus. Kotak kardus, tumpukan barang, tergeletak di depan counter pembatas dapur yang juga berfungsi sebagai kasir. Satu onggok lagi dengan tenangnya nangkring di samping meja tamu. Tak banyak sebenarnya energi yang diperlukan untuk merapikan ruang sekitar 50 meter persegi ini. Menurutku ini persoalan kemauan, bukan kemampuan. Sekelompok bapak-bapak dengan tongkrongan perlente (lengkap dengan arloji besar berkilau dan cincin berbagai bebatuan yang bling-bling –terlihat setiap kali mereka mengangkat dan memutar-mutar tangan untuk menekankan argumentasinya), tampak tengah berdebat untuk suatu hal yang seru, mungkin politik. Atau soal kasus pengadilan. Mereka seperti sekelompok pengacara – atau pokrol? – di mataku. Aku berasumsi demikian karena persis di depan kedai terdapat satu Lembaga Bantuan Hukum. Suara keras mereka mereda begitu aku masuk, pandangan mereka seolah tak senang karena ada aku, dari spesies berbeda, perempuan pula, menginvansi wilayah mereka. Setelah yakin bahwa aku tak akan mengusik (aku malah sibuk memotreti jendela, meja sembahyang dan segala hal remeh temeh yang tak sesuai dengan kaliber pembicaraan mereka), ramainya perdebatan mereka mencuat beberapa oktaf lagi. Kuajak bapak pengemudi mobil hotel yang kusewa hari itu. Kupikir kalau aku ditemani makan mungkin aku jadi tak terlalu sungkan. Ternyata aku harus kecewa. Satu dari trio gadis muda yang sedang in-charge menjaga kedai, dengan teganya mengusirku, tak terlalu halus, agak kelewat antusias: “tak bisa pesan bu, mau tutup....” Mungkin ia amat mengantuk karena harus bangun pagi sekali. Kedai-kedai seperti ini memang paling laris untuk sarapan.

Bapak-bapak tadi segera bergegas meninggalkan meja perundingan mereka. Aku masih tenang-tenang memfoto berbagai hal-hal yang mencengangkanku dalam ruangan sambil menunggu Boru Pasaribu menutup toko (begitu namanya kuketahui kemudian). Tak lama aku keluar lalu menyusuri jalan Hindu, mengamati bangunan2 berarsitektur Belanda - beberapa di antaranya hanya mempertahankan tampak depan / facade asli, tetapi sudah mulai meruntuhkan bangunan dibaliknya (sigh, sedih melihatnya). Aku bisa bayangkan berbagai warna kulit hilir mudik di jalan ini, di awal tahun 1900-an. Tentunya pojokan berpintu hijau ‘warteg’ tadi menjadi tempat menghilangkan lelah sambil bersosialisasi yang strategis.

@@@@

Aku tidak merencanakan untuk balik lagi, tak cukup waktuku. Namun ternyata aku masih diberi kemujuran.

Dua hari kemudian, dalam perjalanan ke airport yang sudah kurencanakan waktunya agar tak tergopoh-gopoh, tiba-tiba ‘radar’ku (yang biasanya payah, gampang disorientasi), paham bahwa taksi membawaku lewat jalan Hindu. Kuminta pak supir berhenti, dan aku dengan riang sekali memasuki teritori berhawa abad lalu di pojokan jalan ini untuk kedua kali. Di terang pagi jam sepuluh, kedai terasa sedikit lebih cerah. Sekelompok anak muda (salah satu berkemeja hijau fluorescent, berbicara dengan energik. Semangat dan warna bajunya -yang mestinya bisa berpendar dalam gelap- bisa jadi penyebab terlihat lebih cerianya kedai) mengelilingi meja dekat jendela. Mereka bercakap dalam bahasa Inggeris.

Aku mengambil tempat di tengah ruangan.

Beberapa lama mengamati ruang ini, lamat-lamat dapat kubaui juga keanggunannya, seperti wanita cantik lanjut usia yang telah diselimuti kerut halus jalin menjalin seperti sarang laba-laba, tapi tak mampu tertutupi gurat garis anggunnya, dignitynya. Bukan kedai sembarang kedai memang.

Terasa sentuhan tangan dengan selera baik. Kursi makan bergaya Cina peranakan (lihat gambar), mengitari sekolompok meja bulat – beberapa masih beralas marmer, lainnya hanya ditutup lapisan kayu. Entah marmernya pecah atau dijual). Walaupun pelitur telah terkelupas dan memucat terkikis tahun, masih kelihatan tongkrongannya yang berkelas. Kalender dan gambar berbagai dewa berwarna merah dan emas yang di kedai lain sering dipajang berlebihan dan agak norak, di dinding Apek terpasang apik berderet dengan jam kuno dan altar pemujaan arwah. (Lagi-lagi foto leluhur dan sesajian disandarkan di lantai. Aku tidak tahu sebelumnya bahwa kebiasaan ini ada). Di sebelah kanan, satu kabinet porselen (bahasa inggrisnya "china cabinet": china merujuk pada porselen, bukan etnis tertentu) mengambil cukup banyak ruang di satu sudut. Bagian atas yang berkaca dimaksudkan untuk memamerkan isinya. Di bagian bawah terdapat deretan laci. Melihat gaya dan perkiraan tahun pembuatannya, aku yakin perabot ini terbuat dari kayu yang asing di negeri ini. Kemungkinan kayu oak, atau rosewood, seperti kebanyakan perabot masa kolonial dulu. Imajinasiku mengukir gambar di kepala tentang sang Apek atau ayahnya yang memperoleh kabinet ini dari pegawai Belanda yang pulang ke negerinya. (Begitu cara kakek dan nenekku sendiri, Eyang Santoso, dapat memiliki banyak perabot Eropa, boleh lungsuran para meneer yang balik kampung). Pada masa jayanya, di tangan pemilik aslinya, kemungkinan besar kabinet porselen ini diisi dengan berbagai piranti makanan. Bisa jadi keramik biru putih dari Delft, atau keramik cina zaman Ming. Namun hari ini, tanggal 2 September 2012, kabinet diisi Apek dan keturunannya dengan gulungan tissue, bungkusan kopi, plastik-plastik dan segala keperluan berdagang kopi yang naik pangkat tak sengaja terdisplay. Dimataku tak mengurangi keindahan perabot antik ini.

Sisa-sisa daya pikat dan kemegahan Kedai Kopi Apek juga masih bisa kuendus dari kotak display di atas counter kasir yang biasanya terisi rokok. Bedanya di sini, puluhan botol berbagai bentuk dimuati macam2 minuman keras. Lagi-lagi kubayangkan jejak para pengunjung tertinggal di tempat ini – yang berangkat berlibur ke negaranya, atau warga lokal yang dikirim keluar, membawakan buah tangan buat Apek yang berjasa meracikkan ramuan kopi kecintaan mereka. (Apek sendiri terkenal sangar, jarang senyum dan pemberang. Suatu media menulis cerita pelanggan tahunannya, minta kopi yang tinggal setengah ditambahi air panas. Apek menolak. Ia bersikeras kalau mau tambah, sebaiknya beli kopi lagi, tidak usah beralasan minta air panas. Sang pelanggan tersinggung dan tidak muncul ... seminggu.. Ya, hanya seminggu !! Tidak ada yang bisa menahankan rindu pada kopi Apek.)

@@@@ Aku tertegun ketika ditanya hendak roti kaya panggang atau kukus. Yang terakhir belum pernah kutemukan di kedai kopi lain di berbagai kota baik di Indonesia maupun di negeri tetangga.  Lima belas menit kemudian, moments of truth, tiba. Hal yang membuat kedai ini kondang sampai ke manca negara tersaji di depanku. Kopi datang dalam cangkir keramik tebal retak seribu. Susu kental yang mendampingi disuguhkan dalam gelas mungil seperti sloki. Kabarnya kopi datang dari Lintong dan Sidikalang. Aku bukan ahli mengenai tipe dan jenis kopi, namun saraf di lidahku tahu tanpa harus diberi tahu terlalu banyak . Lezat. Roti dikukus dengan kukusan bambu, membuat ada bau ekstra tertinggal di kepingan berlapis kaya. Aku sekarang paham. Racikan Apek berbicara dengan sendirinya, tak perlu pakai iklan atau billboard untuk promosi.

@@@

Dalam pesawat, aku merenung-renung. Jika meja-meja marmer itu bisa berkisah, berapa banyak cerita, diskusi, perdebatan, keputusan penting, omong kosong, perundingan, bahkan -mungkin- perencanaan penipuan yang terjadi di atas meja2 bulat di Kedai Apek? Banyak tulisan bercerita tentang banyaknya orang penting singgah di sini, salah satunya pahlawan nasional Jamin Ginting. Tak berlebihan jika satu harian menulis bahwa kedai yang dulu dikenal dengan nama Mieng Ho ini adalah ‘ sepotong sejarah Medan’. Digambarkan pula dalam berbagai publikasi itu tentang riuh rendahnya pengunjung, tentang larisnya pedagang penjaja makanan etnis lain yang berjualan di kedai Apek. Tapi dalam dua kali kedatanganku menyambangi Kedai Apek, tak sekalipun ada pedagang lain berjualan. Tamupun tak banyak. Apakah ini pertanda bahwa ketahanan bisnis Kedai Apek sedang diuji, dan di ujung tanduk? Adakah kesan tak terurus adalah perwujudan dari setengah hatinya kepengurusan Suyenti, putri Apek, yang tidak sama ‘passion’nya dengan ayahnya? Atau akukah yang salah berasumsi, hanya karena datang pada saat kurang tepat – Jumat malam dan minggu, saat warung memang sedang tidak ramai? Kalau banyak orang sepakat bahwa Kedai Apek ini adalah tempat yang bersejarah dan pantas dikunjungi, adakah yang tergerak untuk memikirkan kelangsungan bisnis Apek? Adakah kemungkinan bahwa generasi di bawahnya tidak setangguh Apek? Apakah Apek masih hidup?

Apapun jawabannya, satu hal pasti. Kedai Apek selalu mengundang untuk dikunjungi kembali, tak mudah terlupakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun