Mohon tunggu...
yanwardi natadipura
yanwardi natadipura Mohon Tunggu... -

Saya, seorang alumnus FIB UI, pernah sekitar sepuluh tahun menjadi penulis naskah iklan di biro iklan Jakarta, dan senang mengamati bahasa Indonesia. Saya memang pencinta bahasa Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Bahasa Sunda Tergerus Penutur

17 Desember 2011   06:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:09 687
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Yanwardi

Situasi Umum Bahasa Daerah di Indonesia

“Kongres Kebudayaan Betawi” , 5-7 Desember 2011 yang baru lalu,mencuatkan upaya pelestarian bahasa Betawi.Sikap ini menyiratkan bahwa ada kekhawatiran di antara penutur bahasa Betawi akan keberlangsungan hidup bahasanya. Begitu pulayang terjadi dalam “Kongres Bahasa Jawa” kemarin. Isu itu agaknya bukan isu baru. Selalu, dan selalu muncul dalam setiap kongres kedaerahan. Memang, saat ini seiring dengan kepunahan beberapa bahasadaerah di dunia dannusantara, sorotan atas fenomena kepunahan bahasa kian besar.

Pada dasarnya, mati hidupnya suatu bahasa ditentukan oleh penuturnya sendiri. Hak hidup bahasa dari undang-undang, dari UNESCO, dan dari Perda, misalnya, tak akan ampuh bila penuturnya sudah memutuskan bahasanyapunah. Juga upaya sehebat apa pun, teori secemerlang apa pun,dengan ahli bahasa segenius apa pun, tetap tidak akan bermanfaatandaisi penutur sudah bersikap negatif pada bahasanya. Dan,besarnya jumlahpenutur juga bukan hal mutlak yang menentukan mati hidupnya suatu bahasa. Beberapa penelitian kebahasaan di Indonesia telah membuktikan jumlah penutur yang sedikit justru memperlihatkan kebertahanan suatu bahasa, misalnya, bahasa Mee (100 penutur) diPapuadan bahasa Melayu Loloan di Bali (253 kepala keluarga). Lagi-lagi,sikap penuturlah yang membuatbahasa ibu mereka bertahan sampai kini.

Dalam situasi kebahasaan di Indonesia, secara makro, bahasa daerah memiliki “permasalahan” yang sama, yakni “terdesak” atau bersaing dengan, terutama, bahasa Indonesia, lalu bahasa asing.Idealnya, fungsi dan peran bahasa daerah dan bahasa Indonesia, sesuai dengan yang diamanatkanUndang-undang Dasar 1945 dan politik bahasa nasional yakni masing-masing terbagi khas: bahasa Indonesia sebagai bahasa negara, pemersatu, bahasa nasional,digunakan untuk ranah “tinggi” (kenegaraan,administrasi,pengantar pendidikan,dll) dan bahasa daerah untuk ranah “rendah” (keluarga, kekariban, ketetanggaan, surat pribadi, dll).Kondisi tersebut dalam sosiolinguistik disebut diglosia. Namun, apa yang terjadi belakangan?Bila telah ada pembagian demikian, biasanya muncul penafsiran subyektif dan psikologis dari masyarakat penuturnya, yakni bahasa yang satu lebih bergengsi daripada yang lain.

Di kota-kota besar, misalnya,Bali, Bandung,Yogyakarta,Malang, Surabaya,pemakaian bahasa Indonesia sudah merambah kepada ranah “rendah”. Fenomena ini biasa disebut kebocoran atau ketirisan diglosia. Kalau tidak segera ditambal,kebocoran diglosiaakan mengarah pada pergeseran bahasa, dan pada akhirnya kepunahan bahasa. Yang berarti, hilang pulalah pilar utama dari budayaetnik kita. Lebih dari lima bahasa daerahdi Indonesia yang telah punah di Indonesia.

Bagaimana dengan bahasa Sunda?

Cecep Sobarna pada tahun 2007 pernah mengungkapkan kekhawatiran kelangsungan hidup bahasa Sunda, terutama di daerah Bandung dalam artikelnya di Wacana.Sedikit diungkapkan pula masalah sikap penutur anak-anak muda yang kurang positif pada bahasa Sunda, yakni dalam keseharian mereka menggunakan bahasa Indonesia (Melayu) dialek Jakarta.Sikap negatif ini datang dari penutur bahasanya sendiri. Bisa dibayangkan jika akumulasianak-anak muda ini kian besardengan frekuensi pemakaian yang kian meningkat, ditambah pula dengan peluasan pemakaian ranah bahasa Indonesia itu, misalnya, masuk ke dalam ranah keluarga, kian bertambah parahlah sakit si bahasa Sunda ini.

Yang menyedihkan, akhir-akhir ini sikap penutur, yang negatif, menjalar pula ke kota-kota besar Jawa Barat lainnya. Saya amati beberapa tahun terakhir, para penutur bahasa Sunda di daerah Bogor makin hari makin mengarah kepada “pembunuhan diri sendiri”, dalam konteks ini, bahasa Sunda. Terjadi pergeseran pemakaian bahasa Sunda dalam ranah yang paling inti, yakni keluarga: antara seorang ibu dan anaknya yang masih balita dan ranah kekariban sehari-hari.Fakta-fakta ini sering saya lihat dan dengar secara langsunglewat peristiwa sehari-hari.Ada tiga jenis peristiwanya.

Pertama,kala diangkutan umum beberapa kali sayamelihat dan mendengar seorang ibu mudasaat bercakap-cakap dengan anaknya, usia balita, menggunakan bahasa Indonesia. Padahal, sebelumnya ibu ini berbicara dengan bahasa daerah (Sunda) ketikamenyapa rekan seperjalannya, yang berusia sebaya. Yang ada dalam benak saya,bagaimanaandai penutur bahasa Sunda lainnya bersikap seperti ibu muda itu.Konkretnya, bagaimana nasib bahasa Sunda ke depannya kalau bahasa Sunda dalam ranah keluarga saja sudah digantikan oleh bahasa Indonesia. Padahal,ahli-ahli sosiolinguistik mengingatkan bahwa salah satu faktor utama yang membuat suatu bahasa punah adalah tersendatnya proses transmisi (peralihan) bahasa ibu antargenerasi. Dari situlah, indikasi awal yang menunjukkan suatu bahasa menuju kepunahan.

Kedua,saya alami kejadian lainnya yang berkaitan dengan sikap bahasa dari seorangpenutur bahasa Sunda lagi.Dalam suatu peristiwa tutur nonformal dan keseharian, yang terdiri atas beberapaorang penutur asli dan satu orang bukan penutur asli tetapi lahir di Bogor, tetapi sehari-hari yang bukan dari etnik Sunda ini selalu berbicara dalam bahasa Sunda.Anehnya,salah seorang yang penutur asli secara konsisten justru memakai bahasa Indonesia kala berbicara dengan partisipan yang bukan penutur asli itu.Dia akan menggunakan bahasa Sunda kembali jika bercakap dengan rekan bicaranya yang“benar-benar” beretnis Sunda.Padahal, tuturan itu berlangsung dalam satu peristiwa dan para peserta tutur (karena keakraban sehari-hari) mengetahuibahwa seluruh peserta tutur mengerti bahasa Sunda. Sama dengan kejadian pertama, pengalaman kedua ini sering saya jumpai sehari-hari. Artinya,penutur yang bersikap begitu bukan hanya satu dua atau kekecualian

Ketiga,beberapa kali saya lihat penutur asli bahasa Sunda akan “keukeuh” berbahasa Indonesia jikamereka beranggapan rekan bicaranya adalah bukan orang Sunda. Padahal,rekan bicara itu juga menggunakan bahasa Sunda.Terjadilah peristiwa “unik”: penutur asli Sunda memakai bahasa Indonesia; rekan bicaranya menggunakan bahasa Sunda. Unik tapi sering saya perhatikan terjadi dalam keseharian di Bogor.

Bergerak dari situ, saya akhirnya menanyakan secara langsung kepada beberapa pasangan muda di lingkungan saya dan teman-teman saya, di Bogor,Jawa Barat.Saya ajukan kepadatiga pasangan usia(40-45 tahun, yang kedua orangtuanya sama-sama juga berasal dari suku Sunda)pertanyaan, “pakai bahasa apa di rumah”. Ketiganya menjawab, “bahasa Indonesia”. Begitu pula ketika pertanyaan yang sama saya tujukan pada pasangan penutur asli bahasa Sunda usia lebih muda (20-25 tahun), jawabannya sama pula: “pakai bahasa Indonesia”.

Faktor Gengsi danEkonomik

Ada dua faktor yang paling rasional berkaitan dengan pemilihan suatu bahasa dalam suatu masyarakat, yakni alasan gengsi dan alasan ekonomik.Kedua alasan ini bisa terjadi dalam bahasa mana pun dan masuk akal ditinjau dari sisi pribadi orang per orang. Dari sisi komunitas dan kebersamaan sebagai suatu suku bangsa, jelas tidak positiffaktor-faktor itu.

Dalam peristiwa si ibu dan anaknya juga peristiwa kedua dan ketiga, alasan gengsi lebih menonjol.Si Ibu menganggap bahasa Sunda lebihrendah daripada bahasa Indonesia. Karena itu, ia memperlihatkan bahwa dia pun bisa berbahasa Indonesiadi depan saya dan penumpang lainnya. Inilah asosiasi subyektif yangtelah menempel pada benak penutur bahasa Sunda bahwa bahasa Sunda lebih tidak bergengsi daripada bahasa Indonesia. Pada gilirannya kelak, bahasaIndonesia kalah gengsi ketimbang bahasa Inggris, misalnya.

Alasan ekonomik dikaitkan jika belajar bahasa Sunda atau katakanlah memakai bahasa Sunda tidak akan bermanfaat dalam meningkatkan karier atau peraihan materi. Pada akhirnya, kian jelas alasan ini andai dikaitkan dengan bahasa asing. Maka, berlomba-lomba, demi memperoleh karier, pekerjaan yang konon lebih menjanjikan secara materi,kita belajar bahasa Inggris meski mahal sekalipun. Tampak pula alasan gengsi di sini manakala orangtua memasukkan anak balitanya ke kursus-kursus bahasa asing.

Imbas Globalisasi

Peran media massa dan perkembangan teknologi informasi, ditambahaksesnya yang makin mudah, terjangkau, dan murah cara mendapatkannya,turut mempersulit keberlangsungan hidup bahasa Sunda dan bahasa daerah lainnya. Seperti kita ketahui bersama,media massa,umpamanya,televisi,koran, dan intenet lebih sering menggunakan bahasa nasional dan asing.Muatan-muatan dalam program atau rubrik mereka lebih banyak berbicara mengenaikeglobalan pula: mulai dari gaya hidup hingga bahasanya.Dari sinilah, ihwal kegengsian masuk dan merasuki masyarakat salah satu desa di Bogor. Mereka dalam kesehariannya, dalam ranah kekariban, ketetanggaan telah menggunakan bahasa Indonesia, artinya, mulai meninggalkan bahasa Sunda.

Sikap Penutur Modal Kelangsungan Hidup Bahasa Sunda

Apa pun masalahnya, gengsi, ekonomik, dan globalisasi, jika kitamerasa bahasa Sunda adalah identitas dan kebanggaan” urang-urang” Sunda,tidak akan bisa membuat bahasa kita terdesak, apalagi hilang. Dan harus diingat,yang rugi, yang akan kehilanganbahasa Sunda, yang dengan demikian kehilangan pula pilar budayaJawa Barat, adalah kita sendiri. Lewat bahasa Sunda pula kita menurunkan budaya kita, merunutnilai-nilai positif yang ada dalam kebudayaan Sunda untuk diturunkan pada generasiberikutnya.Sebab itu,belumlah terlambatjika kita bersikap positif pada bahasa Sunda,mulai dari lingkungan terkecil dulu, keluarga, teman, sebagaimana diamanatkan undang-undang dan politik bahasa nasional, juga “disarankan” oleh para ahli sosiolinguistik. Contohlah suku Loloan di Bali dan suku Mee di Papua, misalnya,mereka begitu mencintai bahasanya masing-masing hingga lestari, tidak tergerus zaman.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun