Memaknai ulang kegagalan
Siang itu cuaca panas seperti biasa di kota Jogja. Aku belum lama kembali dari kampus UKDW sambil membawa surat pengumuman hasil seleksi untuk bisa diterima menjadi mahasiswa di kampus UKDW, Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta.
Saat masih dalam perjalanan keluar dari kampus, aku memberanikan diri membuka amplop yang berisi surat itu. Belum juga aku keluar dari lingkungan kampus, aku harus menerima kenyataan pahit surat itu berisi pernyataan jelas yang ditulis tebal "BELUM LULUS".
Ya mungkin bahasanya coba diperlembut oleh panitia seleksi dengan menggunakan kata "belum". Tapi mulai dari tukang WC, tukang parkir, pegawai negeri, dosen, mahasiswa, guru, murid, tukang bubur, mas penjual es dawet dan semua pribadi tanpa perlu ada gelar berderet kayak sekelompok kambing, bisa tahu dengan jelas kalau itu artinya TIDAK !
Aku yang menghabiskan uang banyak untuk membiayai perjalanan  dari Manado ke Jogja itu, belum lagi harus numpang di kosan teman, juga membawa harga diri besar akibat rasa sukses waktu studi sebelumnya, harus menerima fakta kecut yang tak terhindarkan itu.
Yang paling tertanam dalam diriku pada waktu itu adalah bagaimana rasa harga diri dan arogansi yang merasa diri paling hebat harus ditegur dengan cara yang memang tidak terlupakan. Aku bukan apa-apanya di dunia luar sana.
Sampai kini perasaan itu masih menggetarkan dadaku, walaupun peristiwa ini terjadi sudah lebih dari lima tahun yang lalu. Aku harus menerima kenyataan kalau ternyata ayah sangat malu terhadap semua orang di kampung kami.
Ia harus menanggung perasaan itu sendiri. Sedih sekali.
Aku menghabiskan waktu siang itu, di salah satu rumah makan di depan supermarket Gardena yang sering menjadi tempat belanja para mahasiswa. Aku satu-satunya pelanggan yang menikmati makanan disitu.
 Seperti yang sudah menjadi kebiasaanku, aku mencoba mendamaikan perasaanku yang kalut itu dengan cara makan sebanyak mungkin. Dalam istilah psikologis, aku sementara membuat kompensasi atas rasa sakit yang sementara dimiliki. Tapi rupanya tidak berhasil.
Aku secepatnya pulang ke kosan teman yang kutumpangi. Beristirahat sedikit, lalu memesan tiket besoknya untuk pulang ke Manado. Pulang ke rumah rupanya bukanlah solusi yang tepat juga. Sebab sesampainya di rumah, tidak ada perubahan yang muncul dalam diriku. Aku tetap merasa pahit.
Seperti sinetron, akupun membakar surat hasil tes itu di dapur rumah kami. Aku tidak kemana-mana selama berminggu-minggu. Hanya tidur dan beraktivitas secukupnya di dalam rumah. Sebab untuk apa keluar ? Toh, aku tetap ditolak.
Mungkin ini terlalu berlebihan, tapi lanjut studi di UKDW adalah pertaruhanku satu-satunya. Sebelum mulai ikut tes, aku benar-benar fokus. Tidak ada pikiran dan tindakanku yang mengarah ke kemungkinan masa depan yang lain.
Hanya satu, sekolah lagi. Persoalannya, aku tidak berencana dan melakukan pendaftaran di kampus lain. Sehingga ketika ditolak oleh kampus satu ini, runtuhlah semua rencanaku. Tidak tahu mau ngapain lagi.
Waktu yang dilalui untuk merenungkan ini cukup banyak. Karena tes yang kuikuti adalah gelombang terakhir, sehingga kalau ingin tes lagi di tempat yang sama harus menunggu sampai tahun depan. Jadi aku menghabiskan waktu setahun untuk merenungkan kegagalanku.
Ya, sejauh waktu yang dilalui, entah bagaimana aku berhasil mengumpulkan keberanian untuk mencoba lagi. Aku menghabiskan waktu setahun untuk membaca buku bahasa inggris. Sambil menata pikiran dan perasaanku bahwa aku ingin mencoba lagi.
Hasil tidak penting, yang penting aku sudah berusaha. Sesungguhnya itu hikmat yang kudapatkan dari kegagalan itu. Aku mendapatkan semangat untuk mencoba terus dan membiasakan diri dengan kegagalan.
Ternyata benar, walaupun akhirnya aku diterima masuk ke kampus itu. Masih banyak kegagalan lain yang harus kualami. Materi kuliah yang tidak bisa kumengerti. Nilai yang anjlok. Bahasa pergaulan yang tertatih-tatih.
Lalu tulisan yang dikirim selalu mendapat jawaban ditolak. Tapi semua kegagalan itu tanpa sadar menjadi ilmu bekalku untuk masa depan. Ini barangkali terlalu receh. Nasihat yang biasa saja. Kalau tidak berminat ya tidak usah baca to? Eh, kalo sudah sampai disini berarti sudah baca. hehe
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H