Seperti sinetron, akupun membakar surat hasil tes itu di dapur rumah kami. Aku tidak kemana-mana selama berminggu-minggu. Hanya tidur dan beraktivitas secukupnya di dalam rumah. Sebab untuk apa keluar ? Toh, aku tetap ditolak.
Mungkin ini terlalu berlebihan, tapi lanjut studi di UKDW adalah pertaruhanku satu-satunya. Sebelum mulai ikut tes, aku benar-benar fokus. Tidak ada pikiran dan tindakanku yang mengarah ke kemungkinan masa depan yang lain.
Hanya satu, sekolah lagi. Persoalannya, aku tidak berencana dan melakukan pendaftaran di kampus lain. Sehingga ketika ditolak oleh kampus satu ini, runtuhlah semua rencanaku. Tidak tahu mau ngapain lagi.
Waktu yang dilalui untuk merenungkan ini cukup banyak. Karena tes yang kuikuti adalah gelombang terakhir, sehingga kalau ingin tes lagi di tempat yang sama harus menunggu sampai tahun depan. Jadi aku menghabiskan waktu setahun untuk merenungkan kegagalanku.
Ya, sejauh waktu yang dilalui, entah bagaimana aku berhasil mengumpulkan keberanian untuk mencoba lagi. Aku menghabiskan waktu setahun untuk membaca buku bahasa inggris. Sambil menata pikiran dan perasaanku bahwa aku ingin mencoba lagi.
Hasil tidak penting, yang penting aku sudah berusaha. Sesungguhnya itu hikmat yang kudapatkan dari kegagalan itu. Aku mendapatkan semangat untuk mencoba terus dan membiasakan diri dengan kegagalan.
Ternyata benar, walaupun akhirnya aku diterima masuk ke kampus itu. Masih banyak kegagalan lain yang harus kualami. Materi kuliah yang tidak bisa kumengerti. Nilai yang anjlok. Bahasa pergaulan yang tertatih-tatih.
Lalu tulisan yang dikirim selalu mendapat jawaban ditolak. Tapi semua kegagalan itu tanpa sadar menjadi ilmu bekalku untuk masa depan. Ini barangkali terlalu receh. Nasihat yang biasa saja. Kalau tidak berminat ya tidak usah baca to? Eh, kalo sudah sampai disini berarti sudah baca. hehe
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H