Bagaimana kalau impian yang sudah kita perjuangkan dengan "berdarah-darah" akhirnya tidak tercapai ? Berbagai upaya sudah dilakukan. Belajar seperti orang gila siang dan malam. Mencari informasi di sana sini mulai dari hadir di seminar-seminar, bertanya ke orang-orang yang berpengalaman sampai sering mencari info di media sosial.
Bukan juga singkat waktu yang dihabiskan. Mulai dari masih sekolah yang dasar, ikut perguruan tinggi sampai sudah berkeluarga dan beranak-cucu, bertahun-tahun sudah terlewat. Lalu karena titisan nasib hingga semua usaha tidak membuahkan hasil.
Dalam satu pengalaman yang tak terlupakan, Elok Halimah menyaksikan dua orang pekerja Imigran yang dikenal dengan Buruh Migran Indonesia (BMI) yang punya impian besar namun tak tercapai.
Dalam suatu kesempatan di Hongkong, Elok tak sengaja mendengar pembicaraan dua orang perempuan BMI atau yang terkenal di Indonesia sebagai TKW, berbicara dalam bahasa Jawa yang familiar dengannya.
Mereka bercerita tentang bagaimana keinginan mereka untuk mendapat hidup yang lebih baik akhirnya pupus karena persoalan ekonomi. Mereka iri melihat tetangga mereka yang bisa dengan nikmat merengkuh pendidikan tinggi dan bisa bekerja dengan layak.
Sementara mereka berdua hanya bisa terdampar bekerja di tanah orang yang tak dikenal ini sebagai pembantu rumah tangga. Tapi mereka sendiri akhirnya bisa bersyukur karena bisa lolos dari seleksi untuk menjadi BMI sementara banyak orang yang gagal.
Karena kesempatan yang dimiliki ini, mereka bisa membiayai keluarganya di kampung, agar kebutuhan orang tuanya dan terutama menyekolahkan adik mereka ke jenjang yang lebih dari yang pernah mereka miliki. Rupaya percakapan dari orang yang tak dikenal ini sangat membekas dalam diri Elok karena itu mengingatkan kenangan tentang Ayahnya yang bernasib seperti mereka.
Catatan Elok ini tergabung dalam buku kumpulan tulisan yang berjudul Berjuang di Tanah Rantau. Di dalam buku ini tercatat berbagai pengalaman hidup orang-orang yang berkarya maupun studi di luar negeri. Salah satunya ialah Ahmad Fuadi, penulis buku Negeri 5 Menara  yang sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Belakangan buku itu sudah diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama.
Di antara berbagai cerita menarik tentang orang-orang yang berjuang di dalam buku Berjuang di Tanah Rantau itu, saya tertarik dengan cerita dari Elok yang berkisah tentang bagaimana respon orang yang impiannya tidak terwujud. Elok Hasimah adalah orang Indonesia yang saat ini berkarya di Jepang. Pengalaman yang diceritakannya itu terjadi saat ia berkunjung ke Hongkong.
Elok kemudian berkisah tentang ayahnya yang punya impian besar untuk bisa mengelilingi dunia. Di salah satu kampung terpencil di Jawa Timur, hanya ayahnya sendiri yang punya mimpi sebesar itu. Tiap hari ayahnya belajar tentang sejarah dan kebudayaan asing.
Ayahnya sendiri dengan tekun belajar bahasa inggris dan arab yang tak pernah dipakai untuk berkomunikasi dengan penutur asli. Tiap hari ayahnya menonton TV untuk mencari tahu tentang peristiwa di luar negeri.
Beliau sendiri katanya pernah merasakan bangku kuliah, tapi tak bisa diselesaikan untuk alasan yang  tak pernah diutarakannya. Tiap kali Elok pulang kuliah, ayahnya dengan mata berbinar selalu bertanya-tanya tentang materi kuliah yang didapat, bagaimana pergaulannya, sampai ke kendala apa saja yang dihadapi.
Semua ini sungguh bertepatan dengan jurusan Sastra dan Bahasa Jepang yang diambil Elok cocok dengan impian ayahnya untuk mengelilingi dunia. Sayang sekali, impian ayahnya tidak pernah terwujud.
Ayahnya menghabiskan waktu hidupnya untuk menghidupi keluarga hingga tidak mampu menggapai impiannya sendiri. Ia mengorbankan cita-citanya untuk kebaikan keluarganya. Elok yang kemudian mendapatkan beasiswa untuk lanjut studi ke Jepang merasa sedih membayangkan impian ayahnya tidak terwujud, sementara ia sendiri bisa menggapai mimpinya untuk studi ke luar negeri.
Saat akan berangkat untuk memulai studi di Jepang, Elok menanyakan hal itu ke ayahnya. Dengan tertawa ayahnya menjawab, "... Bagi Bapak, tidak apa-apa impian Bapak kandas di tengah jalan, yang penting kamu dan saudara-saudaramu yang lain bisa melesat tinggi, mencapai apa yang kalian impikan. Setiap hari Bapak bekerja dengan ikhlas dan berdoa dengan sepenuh hati supaya kalian mendapat yang terbaik, yang jauh lebih baik dari Bapak. Bagi Bapak, itu jauh lebih penting daripada mengeluh soal mimpi yang gagal terwujud."
Mimpi yang tidak terwujud itu ternyata berubah menjadi semangat untuk memberi yang terbaik bagi orang lain. Yang paling penting, entah kita ada dalam posisi sementara mengejar cita-cita atau sudah berhenti dan akhirnya mendukung mimpi orang lain, semua yang kita lakukan itu harus memberi manfaat kepada orang lain.
Tentu membaca kisah Elok ini akan membawa kesedihan bagi beberapa orang, tapi yang utama bagi ayahnya, melalui Elok dan saudara-saudaranya yang berhasil dalam hidup, itu sudah menjadi suatu impian yang terwujud bagi ayahnya. Hal yang serupa juga bagi kedua BMI yang tanpa sengaja membawa kesan mendalam bagi diri Elok. Niat yang baik kita pasti akan membawa berkah bagi orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H